⚖️ 6. Resmi!

38 18 0
                                    

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚖️⚖️⚖️

Pantulan wanita cantik dari cermin yang ada di depanku ini terlihat begitu elegan dengan make-up yang memoles wajah. Dengan kebaya putih serta rambut disanggul dan dihiasi tusuk konde yang berkilauan. Jadi ini aku? Seorang Jeje si bocah kemarin sore yang selalu bandel, sekarang memandangi diri sendiri yang sudah terias cantik? Ya, ampun, ini sangat berbeda dengan diriku pada biasanya. Sedikit deg-degan juga.

Tak pernah terbayang sebelumnya jika hari ini aku akan menikah. Untuk apa takut? Toh, aku melakukan ini untuk Oma, agar Oma dan Bi Lilis hidup enak seperti semula lagi. Dua hari makan seadanya itu membuat nafsu makanku berkurang. Mungkin karena aku sedikit shock. "Selesai," ucap seorang wanita mengenakan blazer dan masker tersebut. Dia menaruh brush make-up di meja karena sudah selesai meriasku.

"Je ...." Suara seseorang dari arah pintu membuatku dan wanita yang mendandaniku menoleh. Itu adalah Eja yang hanya berdua di pintu tanpa mau kemari. Seakan tahu jika Eja ingin bicara berdua denganku, wanita tadi lalu membereskan alat make-up-nya dan segera keluar. Setelah wanita itu pergi, barulah Eja mendekat padaku.

"Gue cantik, kan, Ja?" Aku berdiri dan sembari membenarkan kebaya yang aku pakai, juga riasan yang ada di rambutku. Cantik juga aku diriasi begini, sebab aku tak pernah memakai make-up terlalu tebal, tetapi menurutku ini masih dalam kata natural.

"Cantik, lo selalu cantik di mata gue, Je." Jawaban yang Eja itu membuatku yang tadinya fokus dengan diri sendiri jadi menoleh padanya. Eja ternyata hanya diam dan memandangiku. Dia terdiam cukup lama. Aku selalu cantik di matanya?

"Ja? Lo kenapa?" tanyaku yang mendekat pada Eja.

"Eum?" Eja seperti tersadar dari diamnya, dia mengelap matanya yang sedikit berair itu. Jadi, Eja menangis? "Eh ... maaf, gue malah bengong. Cantik, kok, lo cantik." Eja sekarang tertawa kecil dan sepertinya aku dengar jika tawa itu dipaksakan.

"Ja ... lo jangan sedih gitulah, kita tetep bisa main walaupun gue udah nikah sama Kak Julian. Toh, gue nggak akan jalanin pernikahan ini kayak pernikahan sungguhan, gue cuma nyelametin acara ini doang. Kita tetep sahabat, kok," ucapku sembari mengusap pundak Eja. Eja masih menatapku. Tatapan yang sangat dalam itu bisa aku rasakan. Mungkin Eja terharu, karena salah satu sahabatnya ini akan menikah.

"Hahah, sahabat, ya?" tanya Eja lagi. Dia menunduk sejenak, lalu lagi-lagi mengusap matanya. "Boleh gue peluk lo, Je?" Mata Eja sekarang berkaca-kaca saat kami saling tatap. Belum juga aku menjawab, Eja sudah main menarikku dalam pelukannya saja. Sekarang kami berpelukan, tangan Eja begitu erat memeluk tubuhku. Aku tak salah dengar, kan? Eja menangis lirih, tetapi aku masih bisa mendengarnya meski samar-samar.

Aku tak pernah berpelukan berdua dengan dengan laki-laki sebelumnya. Dengan Eja pernah, tetapi saat itu kelulusan SMP, jadi kami berpelukan tidak hanya berdua, melainkan dengan Baim dan Nanad. Meski punya tampang seperti anak bandel dan tidak tahu aturan, tetapi aku bertekad menjaga tubuhku agar tak disentuh oleh sembarang laki-laki.

"Je?" Suara Nanad yang tiba-tiba muncul ini membuat Eja melepaskan pelukan ini dengan cepat. Lagi, ia memutar tubuhnya menghadap belakang untuk menghapus air matanya. "Lo ngapain di sini? Nggak lagi berusaha bawa Jeje kabur, kan?" tanya Nanad pada Eja diiringi tatapan curiganya itu. Hadeh, bau-baunya mereka akan bertengkar lagi.

"Gue nggak segila lo, santai aja." Eja menepuk pelan pundak Nanad yang masih bermuka datar itu. "Je, gue duluan." Ucapan singkat Eja, kemudian ia keluar dari ruangan ini.

"Eja agak aneh, nggak, sih, Nad?" tanyaku yang pada Nanad, tetapi aku masih memandangi punggung Eja yang kian menjauh itu.

Nadia mendekat dan merapikan gaun dan kain batik yang aku kenakan. "Biarin ajalah, Je, palingan dia sedih liat lo nikah. Inget, Je, ini buat Oma lo, buat kuliah lo juga."

"Lo tahu dari mana gue mau kuliah?" tanyaku, karena setahuku aku belum memberitahu Nanad. Aku hanya bercerita pada Bi Lilis, Eja, dan Baim.

"Dari Baim. Udah, Je, yuk ke depan."

Aku mengangguk, mengiyakan ajakan Nanad barusan. Nanad membantuku berjalan, dia menggandengku menuju aula akad nikah, karena untuk berjalan rasanya sedikit kesulitan. Rok span batik yang aku pakai lumayan sempit.

Sampai di aula, orang-orang sudah berkumpul. Banyak sekali, sampai-sampai aku belum menemukan di mana Eja dan Baim duduk saat ini.

Nanad mengantarku duduk di kursi akad, tepatnya di samping Kak Julian yang tengah tertunduk itu. Setelah aku duduk, Nanad meletakkan kain putih panjang di atas kepalaku dan Kak Julian. Bukannya fokus pada akad, mataku malah menjelajahi bagian tamu-tamu. Ya, aku mencari di mana Eja dan Baim duduk saat ini.

Ketemu! Aku melihat mereka berdua duduk di kursi bagian tengah-tengah para tamu. Akan tetapi, yang membuatku salah fokus adalah Eja yang mengucek-ucek matanya. Dia kelilipan atau bagaimana?

Di bagian kursi tamu yang paling depan, ada Nanad dan kedua orang tuanya, juga seorang laki-laki agak tua yang duduk sendirian. Ia juga mengenakan dress code keluarga, yaitu jas berwarna biru muda yang cerah. Ah, mungkin itu papanya Kak Julian.

"Mempelai pria, silakan jabat tangan saya," ucap penghulu yang berpakaian jas hitam rapi. Dia mengulurkan tangannya ke atas meja, tepatnya pada Kak Julian. Kak Julian malah terlihat ragu, atau mungkin dia takut? "Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan engkau, ananda Julian Aldrin Wiratama bin Hendra Wiratama, dengan Jennifer Yudhistira binti Prayoga Yudhistira, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan cincin emas enam gram, dibayar tunai!"

Mataku terfokus pada Kak Julian yang masih menunduk dan memejamkan mata, dia niat menikah denganku tidak, sih? Kok, sepertinya ragu sekali. Apa karena nama yang akan dia ucapkan ini tidak sesuai dengan ekspektasinya?

Kak Julian mendongak, kemudian mendekatkan mikrofon yang ia pegang pada mulutnya. "Saya terima nikah dan kawinnya Jennifer Yudhistira binti Prayoga Yudhistira dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Kak Julian dengan tegas dan dengan satu tarikan napas.

"Bagaimana, para saksi?" tanya penghulu pada para tamu yang sedari tadi hening.

"Sah!" jawab para tamu secara serentak.

Semua orang mengadahkan tangannya, ikut berdoa yang dipimpin oleh penghulu. Namun, aku tidak. Mataku kembali tertuju pada Eja yang saat ini beranjak dari duduknya dan berlari keluar, disusul Baim. Eh? Ada apa, ya, sampai-sampai Eja berlari begitu?

Aku tadinya hampir berdiri untuk mengejar Eja, sudah beranjak malah. Namun, tanganku dipegang oleh Kak Julian, alhasil aku kembali duduk dan melanjutkan doa. Akan tetapi, pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan Eja yang tiba-tiba keluar saat akad baru saja selesai. Apa dia tidak ingin menghabiskan kue-kue di acara ini? Karena jika soal makanan, mereka berdualah yang paling semangat.

⚖️⚖️⚖️

⚖️⚖️⚖️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Penghujung Rasa [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang