Saat ini ayahnya memaksa masuk ke dalam flatnya itu, sang ayah juga menatapnya dengan tatapan yang tajam. Tatapan yang sangat dibenci oleh Sakura, padahal dia berharap tak lagi di tatap setajam itu.
Bahkan sampai sekarang saja, ayahnya belum pernah memperbaiki kebiasaan buruknya. Dia yang menyatakan bahwa akan memberikan segala-galanya untuk kebahagiaan Sakura, nyatanya hanyalah sebuah kebohongan. Dia pastinya tidak sadar, jika sudah mengabaikan Sakura secara terang-terangan.
Sakura pun meletakkan sebuah teh hijau yang dibuatnya, dia terpaksa untuk duduk berhadapan dengan ayahnya. Meskipun dia ingin sekali mengusirnya untuk pergi.
"Selesai meminum tehnya, langsung pergi dari sini," kata Sakura yang tak memperlakukan ayahnya dengan baik.
"Kenapa kau seperti ini pada ayahmu, kau pikir pernah hidup berkecukupan juga karena siapa. Kau bisa menyewa flat ini, kau bisa bersekolah. Dan kau bahkan masih bisa bertahan hidup karena kemurahan hatiku," sahut sang ayah yang semakin tajam pula tatapan matanya.
Ah sial! Sakura hampir saja menunjukkan ketakutannya. Tubuhnya juga hampir bergetar, dia tidak boleh terlihat lemah di depan ayahnya. Orang itu adalah pelaku utama dari hancurnya kebahagiaan miliknya. Bahkan orang itu pula yang membuat ibunya meninggal dunia.
Sakura tidak ingin lagi berurusan dengannya. Akan tetapi, demi sebuah harta dan kedudukannya. Dia yang tanpa sadar diri datang menemui Sakura, sampai memohon-mohon padanya.
"Tidak semuanya darimu, jangan merasa paling berjasa di sini. Aku bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku sendiri, karena tabungan dari ibu dan hasil kerja paruh waktuku," kata Sakura menolak fakta yang ayahnya beberkan terhadapnya.
Mendengar hal itu saja Sakura benar-benar marah, bagaimana bisa pria baya itu merasa sombong sekali. Dia tidak benar-benar berjasa dalam hidup Sakura, dia lah seseorang yang dengan tega mengusirnya dari rumah. Yang kini justru memintanya untuk kembali ke rumahnya lagi.
Brak!
"Kau tidak akan bisa bertahan lama hanya dengan tabungan ibumu yang sedikit itu. Kau juga tidak akan terus-terusan bekerja paruh waktu, apalagi kau masih bersekolah," ucap ayahnya sambil mendorong tubuh Sakura.
"Yah, aku katakan sekali lagi. Jangan merasa paling berjasa, dan jangan pula mengakui jika sudah menjadi ayah yang baik. Selama tiga tahun ini, ayah tidak pernah memberikanku uang. Dari situ pula, hubungan kita sebagai ayah dan anak sudah berakhir."
Atas perkataan itu, sang ayah yang tidak terima pun menarik kerah baju Sakura. Dia juga mencekik lehernya dengan kuat, akan tetapi tindakan gilanya tidak berlangsung lama.
Karena Sakura benar-benar tidak melawan sama sekali, seolah-olah dia memang bersedia mati ditangannya sendiri. Anak yang dulunya takut pada ayahnya, dan takut untuk mati. Kini justru tidak lagi memiliki ketakutan.
Sakura terbatuk-batuk karena tenggorokannya ikut terasa sakit, lehernya juga menjadi memar karena cekikan yang kuat itu. Benar-benar tindakan yang gila sekali, Sakura tidak habis pikir jika ayahnya akan melakukan hal itu padanya. Hanya saja, saat sang ayah mencekik lehernya dengan kuat. Sakura justru tidak memberontak sama sekali.
Barangkali keinginannya untuk mati ditangan ayahnya sendiri, membuat Sakura merasakan sebuah ketenangan. Sakura pikir keinginannya itu sudah berakhir, nyatanya dia salah.
"Jangan lagi mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Sebelum kakekmu pulang dari luar negeri. Kau harus berada di rumah," katanya yang langsung pergi meninggalkan Sakura.
Padahal kan dia harus memastikan kondisi Sakura terlebih dulu. Matanya yang berkaca-kaca itu sudah menunjukkan pertanda dengan jelas, bahwa dia benar-benar tidak baik-baik saja. Rasa sakitnya membuat Sakura tak sadar bahwa air matanya menetes secara perlahan-lahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penuh Dengan Kebohongan [✓]
FanfictionKalimat semuanya akan baik-baik saja itu, hanyalah kalimat penghibur diri. Sementara dengan kenyataannya. Ada yang tak bisa di damaikan apalagi tersembuhkan. Hanya saja, Endo dengan ketulusannya membantu Sakura untuk sembuh. Kini Sakura yang baik-b...