16 September 2024Hari masih pagi. Langkah kaki sudah beranjak keluar rumah sejak orang-orang masih mencoba membuka mata dari indahnya mimpi.
Langkah kaki ini berhenti sejenak, tepat di depan pintu gereja ini.
Ada sesuatu yang membuat kepalaku seperti di bawa angin untuk sekadar kembali pada banyak kejadian di belakang. Aku tengadah melihat ke atas bangunan lama ini. Ada apa di sana sehingga membawa anganku sembarang menari begini?
Langit bernuansa sisa gelap semalam. Matahari malu muncul di permukaan. Cahayanya memang sudah menyentuh kulit ari, tapi kehadirannya masih malu-malu dirasa makhluk bumi.
Maka langit itu saja kujadikan alasan agar angan masa lalu ini mencuat, mengantarkan ingatan-ingatan lalu alasan mengapa mereka berbondong-bondong datang. Tanpa permisi.
Sepertinya langit mengerti. Ia mengutus angin berhembus, menerpa kedua lapis kain yang ku kenakan pagi ini. Sweter hijau muda dengan corak abstrak coklat ini tak mampu menahan embusannya. Langkah ku berhasil dipaksa masuk agar angin itu tidak semakin membuat tubuhku bergidik karena dingin.
Kucari tempat air suci sejenak.
Tidak berubah tempat.
Masih di tempat yang sama, sejak berpuluh tahun lalu. Kecemplungkan jari telunjukku, membiarkan sedikit terbasahi air lalu kutarik dan kugunakan untuk membuat tanda salib. Tubuhku menunduk, memberi hormat kepada-Nya yang telah mengajakku datang ke tempat ini.
"Aku menghormatimu, Tuhan. Anak-Mu ini datang padamu lagi, disini....," Ujarku lirih, takut terdengar orang.
"Menghormati Tuhan itu Ndak usah pakai malu-malu, Nduk. Tuhan itu kan memberimu hidup dari awal hingga sekarang." suara samar itu mendadak terikas di telinga. Suara Ibu Hana, ibu tercintaku sesaat aku kecil bertanya mengapa ia seperti berbisik setiap kali menunduk, memberi hormat seperti yang barusan ku lakukan. Apa tidak takut didengar orang lain?
Senyum tipis menerawang samar di bibirku.
Ibu juga hadir di pagi ini rupanya...
Kuhela napas sejenak. Mataku menyapu seluruh sudut pandang gereja tak besar ini. Gereja ini memberi arti sangat dalam helaan napas, sejak aku kecil. Di tempat ini, banyak kebijakan dan arti hidup dalam kasih kutemukan. Meski dianggap gereja biasa, bagiku tidak. Gereja ini berhasil menerpa pribadiku menjadi pribadi kuat seperti sekarang.
Pandanganku tertuju khusus pada sebuah deretan bangku sebelah kanan, urutan ketiga dari depan, paling ujung. Belum ada umat yang terlihat memilih duduk di sana. Langkahku pun melangkah pasti kesana.
Kubungkukkan badan dan tulus ucapkan, "Aku menghormatimu, ya Allah...," lalu aku pun masuk dalam deretan bangku itu. Di deretan ketiga kuletakkan tas kecilku sementara tubuh mengikuti kaki yang mulai berlutut di tempat khusus untuk berlutut. Kusatukan posisi setiap berdoa ini dengan mengatupkan kedua tangan sembari mata menatap ke depan. Di sana, sedang bertahta Sang Maha. Dia yang kudus sepertinya sudah menantiku sekian lama. Rada merinding sekujur tubuh saat mengingat betapa ia setia menanti meski kadang aku bisa saja mengingkari hati.
Duh, Gusti...
Terimakasih selalu ada untukku kapan saja dan di mana saja.
Tidak peduli bahwa aku yang lemah ini seringkali mengunakan kemanusiaanku untuk menjadi pemakluman-Mu. Entah apa yang kemudian mengembangkan senyumanku begitu menyadari sungguh, pagi ini amat berarti. Tak kan cukup ungkapan terima kasih atas apa yang kualami.
Setelah sukmaku merasa cukup untuk berucap janji pada-Nya, tubuhku mengajak aku untuk duduk di bangku kayu yang konon sudah ada sejak lama. Berusia lebih dari aku bahkan usia bapak ibuku.
Ahhh..
Bapak, Ibu.....mengenangmu di sini membuatku jadi tak pernah ingin cepat waktu pergi.
Suara batuk Ibu karena udara dingin terlintas di telinga kanan. Ekor mataku juga seolah menangkap gelagat Bapak yang sehabis berdoa memandang Ibu sembari menenangkan. Ia memberi tas hitam kesayangan ibu yang di sana ada balsam buat menghangatkan leher Ibu.
Kini bau balsam itu seperti juga menyeruak di ruangan. Bunyi kuku Madah Bakti sedang dibuka untuk mencari nomor nyanyian yang tertera di papan nomor urut lagu-lagu Misa kali ini, terdengar pula di telinga kananku. Kepalaku pim mulai mengolah apa yang terjadi barusan.
Ada yang mulai mengacak-acak hati ini membuat mataku terkatup sejenak. Tidak mungkin yang lalu itu kembali. Ia telah bersatu bersama bumi, mengembalikan keindahan itu pada keabadian-Nya. Mengapa pagi ini mengusik dan menggelitik seluruh sukma hingga menggelisahkan jiwa?
Lalu... pelan kutolehkan kepala ke sebelah kanan.
Gusti...
Bangku ini kosong dua...
Tapi, segala memori itu masih ada..
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruka untuk Rita (RuPha)
HumorMatangi Pharita Parabawa, gadis cantik yang hidup dalam lingkungan keluarga keras. Ia mempunyai Bapak bernama Liam, Bapaknya sangat ambis dan keras dalam mendidik dirinya Hana, sang Ibu yang selalu mendukung dirinya, berbeda dengan sang Bapak, Ibuny...