II

100 22 0
                                    

Keputusan sudah Hana ambil. Meski penuh dengan resiko ia bakal mendapat kalimat tak setuju bahkan bernada marah, Hana terima. Ia sadar betul, bukan saja demi Rita, tetapi karena dirinya sendiri yang tidak siap. Sementara ketika ada obrolan untuk mencari solusi lain, obrolan itu sekadar obrolan, bukan menjadi masukan apalagi membuahkan solusi. Hana merasa tidak didengarkan.

Selama ini dia tidak pernah protes terhadap apa yang diberikan oleh suaminya dalam memenuhi kebutuhan. Ia terima dan olah semua penghasilan suaminya sebagai buruh tani. Kalau ada kekurangan, Hana berusaha sendiri dulu. Keterampilannya membuat masakan ternyata bisa menghasilkan meski cuma beberapa panganan kecil saja. Kue-kue buatannya bisa ia titipkan ke warung.

Oleh karena hal itu, Hana berani mengambil keputusan, ia tak ingin di kota yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hana tahu, pilihannya beresiko. Tapi, ia siap. Karena sesungguhnya ia pun sudah lelah menghadapi sifat keras suaminya. Tak ingin tambah lagi, apalagi saat ia jauh dari kelurganya.

Hana mengikhlaskan semuanya. Ia berpasrah pada jalan yang akan diberikan oleh-Nya. Hana percaya, ada sesuatu yang lebih baik di depan sana menanti

Hana dan Hendrik menatap langkah-langkah Rita yang sedang berjalan di halaman rumah. Dari balik jendela rumah, keduanya sengaja memperhatikan apa yang diperbuat anak kecil itu.

Langkah kecil itu memang belum yakin benar menjejak bumi. Tapi dengan segala daya yang dipunya mereka membiarkan Rita melangkah sendiri tanpa Bi Ida yang kebetulan sedang tidak ada.

Saat langkah Rita menuju perbatasan halaman tetangga, Hana bergegas hendak keluar. Tapi, tangannya segera di tangkap Hendrik, menghentikan langkahnya.

"Biarkan saja," bisik Hendrik.

"Nanti kalau kesandung gimana? disitu kan ada batu penghalang," sanggah Hana.

Mata Hendrik tertuju pada batu yang di maksud. Memang ada batu cukup besar diantara batas halaman rumah Hana dan rumah tetangga. Untuk anak sekecil Rita, bisa menjadi ganjalan atau malah akan menimbulkan kecelakaan kecil yang tidak diinginkan. Wajar saja kalau Hana cemas. Ia tak ingin putrinya itu terluka.

Lewat gerakan tangan dan mata, Hendrik meminta Hana untuk mencoba membiarkan Rita meneruskan langkah sesuai kehendaknya. Keduanya tetap mengawasi saja dari balik jendela rumah.

Sesekali jantung Hana berdegup lebih kencang dari biasa.

Sungguh.

Ia ingin segera menangkap Rita dalam dekapannya agar terhindar dari hal buruk di depan sana. Tapi..

Langkah Rita sampai di depan baru itu.

Di luar perkirakan, ternyata Rita tidak meneruskan langkahnya. Ia terdiam persis di depan baru itu. Sepertinya ia sedang menyelidiki batu berwarna coklat pudar itu.

Sebentar Rita menjongkok. Kepalanya melihat dari sisi-sisi baru itu.

Benar-benar menyelidiki.

Lalu, ia berdiri, bersiap melangkah.

Degup jantung Hana kembali lebih kencang. Hendrik menenangkannya.

Lagi-lagi, di luar dugaan, kalau anak lain biasa saja langsung jalan sehingga membuat kakinya tersandung karena batu itu, Rita tidak. Saat ia berdiri, melangkah lagi, dia memilih untuk memutari batu meski itu berarti ia pun harus hati-hati karena jalan yang tersisa sedikit sekali.

Terlepaslah Rita dari kemungkinan bahaya mengintainya.

Napas lega menyeruak di balik jendela Hana. Baik Hana dan Hendrik merasa lega sekali, anak sekecil Rita ternyata bisa lepas dari bakal bahaya mengintai.

Ruka untuk Rita (RuPha)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang