Makasih votenya. Makasih setianya.
Happy reading...『••✎ Next ✎••』
Setelah perjalanan yang cukup pendek, Evan akhirnya sampai di taman tempat bersantai milik panti.
Begitu sampai sana Ia langsung dibuat syok dengan pemandangan didepannya.
Fano, sahabatnya bermain seru dengan seorang anak perempuan. Yang Ia ketahui adalah Tiya.
Fano mengangkat tubuh kecil Tiya tinggi-tinggi. Ia tertawa lepas dan tersenyum lebar. Seperti orang lain.
Tiya juga tertawa dengan riang. Karena tubuhnya melayang seperti terbang.
Evan biasanya juga melakukan hal yang sama pada Tiya dan anak panti lain. Tapi Tiya merasa, ia lebih bisa terbang tinggi dengan Fano.
Karena tinggi badan Fano, lebih dibandingkan Evan.
"LAH? Ini lebih ga normal!" Pekik Evan lirih.
Seorang Fano yang Evan kenal dengan anak pendiam, cuek, dan dingin, bisa memberikan ekspresi begitu?
Momen seperti ini harus diabadikan. Evan segera merogoh saku jaketnya dan menarik ponselnya.
Langsung memotret Fano dan Tiya.
Cekrek.
Suara rana potretan itu keras. Mengalihkan perhatian Fano dan Tiya.
Evan langsung nyengir dan menyembunyikan ponselnya.
Ia lupa! Lupa mematikan suara rana pada kameranya. Paparazzi pun gagal! Tapi ia berhasil mendapatkan satu foto.
"Kakak Epan? Kenapa dicini?" Tanya Tiya begitu turun dari Fano.
"Emmm, itu... Kak Epan mau ngajak Kakak Fano pulang." Evan terlihat gugup. Apalagi ditatap datar oleh sahabatnya sendiri.
Merinding kawand.
Tiya menatap Fano.
"Kak Mel mau pulang?" tanyanya sedih.
Evan reflek menjatuhkan rahang. Apa tadi? Kak Mel? Serius Fano dipanggil gitu?
'Mel nama cewek anjirr, serius dia ga papa?!' batinnya.
Sementara disisi lain. Fano tersenyum teduh. Ia berjongkok untuk menyesuaikan tingginya dengan Tiya.
"Iya. Lain kali lagi ya mainnya?" Jawabnya.
Tiya sempat menunduk, sebelum kembali mengangkat kepala dan mengangguk sambil tersenyum.
"Janan lupa kecini lagi ya Kak? Tiya tungu Kak Mel dicini," ungkapnya.
Fano mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau gitu, Tiya masuk sana. Lihat, ibu panti sudah menunggu disana." Tuturnya. Dengan tersenyum, Tiya melangkah pergi. Mendatangi ibu panti yang berdiri menunggunya di pintu masuk. Setelah ibu panti dan Tiya membungkuk, kedua perempuan beda usia itu langsung masuk. Meninggalkan Fano dan Evan.
"Fan? Sejak kapan lo jadi anak penuh perhatian gitu?" pertanyaan konyol itu muncul dari bilah bibir Evan.
Fano hanya melirik Evan sebentar. Lalu melangkah pergi.
"Jir, giliran sama gue gitu lo. Jarang-jarang perhatian kayak ke Tiya tadi. Gue kan jadi... Iri." Gerutu Evan sambil menyusul Fano.
"Laper. Mampir resto, ikut gak?" ajak Fano sebelum pergi.
Evan tersenyum lebar. Lalu mengangguk tanpa babibu. Setelah itu, keduanya segera melajukan motornya masing-masing.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Take My Life Too! (slow up)
De TodoMelfano dan Melfino. Kembar tapi berbeda. Fino bagai kesayangan, Fano bagai anak buangan. Fino yang dianggap anak keberuntungan, Fano yang dianggap sumber kesialan. Fino yang dianggap berlian indah, Fano yang dianggap sampah. Inilah kisah Fano. T...