Chapter 11 - Disengage

76 8 2
                                    

Seumur hidupnya, baru kali ini Ela mendengar ucapan tanpa belas kasih dari papanya yang mengalir begitu saja. Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri tanpa perasaan bersalah tersirat dari wajah pria yang seumur hidup Ela dengan penuh bakti dia panggil sebagai Papa.

"Papa ngomong gitu ke aku?" bisik Ela tak percaya.

Papanya bisa mengeluarkan ujaran menyakitkan seperti itu tanpa beban. Alih-alih, tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepada Ela.

"Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya."

Ela mereguk salivanya. Pendar matanya meredup. Sekali lagi, papanya seorang politisi dengan lihai memainkan sisi emosional dan titik terlemah Ela dengan begitu muda. Serangan seperti ini tak seharusnya ditujukan kepada anaknya sendiri. Ini adalah taktik yang seharusnya dipakai untuk menjegal lawan politiknya, bukan untuk darah dagingnya sendiri.

"Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?"

Pikirannya tiba-tiba kosong. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.

"Kamu sudah tega mempermalukan Papa di depan calon presiden! Kamu tahu Dhanu dan Rahmat murka atas masalah ini! Papa malu sekali waktu datang bersama kakakmu untuk meminta maaf kepada mereka!" Papanya mendengus kencang.

"Dia itu calon mertuamu, Ela! Masih untung keluarganya mau menerima Deshinta sebagai penggantimu. Tim mereka bekerja keras untuk press release persiapan pernikahan Dhanu dan Deshinta."

Papa mengucapkan hal itu seakan-akan Ela harus berterima kasih kepada Papa dan Deshinta karena telah menyelesaikan masalah Ela tanpa repot-repot melibatkan dirinya.

Kenapa semua berlaku tak adil kepada dirinya?

Tak adakah keluarganya yang memandang Ela sebagai korban di sini?

"Aku udah nggak peduli lagi dengan rencana pernikahan dengan Dhanu kalau pria itu bahkan nggak mau menemuiku dan mendengar ceritaku! Siapa yang sudi menikah dengan Dhanu kalau dia nggak percaya sama aku, Pa!" bantah Ela sama kerasnya.

Tak ada yang bisa Ela lakukan saat ini kecuali satu hal. Dia harus kukuh mempertahankan kewarasan dirinya di tengah kegilaan yang mendera keluarganya.

"Nasi sudah menjadi bubur. Keputusan sudah final. Besok kamu ikut Papa menemui Pak Remy dan keponakannya–Anggara–untuk menyelesaikan masalah kamu." Papa kembali melambaikan tangannya.

Papa mencoba menutupi bantahan dan protes dari Ela sambil lalu, kemudian dengan entengnya memerintahkan Ela agar menjajakan diri kepada rekan papanya yang lain demi menyelamatkan muka kedua orang tuanya.

"Aku menolak," ujarnya dengan dingin.

Sudah cukup Ela bertindak sebagai anak penurut.

"Aku nggak mau menikah dengan pria yang nggak aku kenal. Keputusanku sudah bulat, jika aku terpaksa menikah maka pria yang tepat hanyalah Pradipta." Maklumatnya ini diucapkan dengan tenang tanpa sedikit emosi yang ditujukan kepada papanya.

Menangis, berteriak, dan bertindak emosional tatap tak akan mengubah keadaan. Ela hanya bisa mengubahnya dengan bertindak demi masa depannya sendiri.

"Kalau ini yang ingin Papa bicarakan, lebih baik nggak perlu dilanjutkan lagi." Ela mengatakannya sambil menatap manik mata Papa yang sudah berkilat marah.

Dia bersiap untuk meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang biasanya mampu memberikan kenangan baik–kini hanya meninggalkan bekas pahit di ujung lidahnya.

Champagne DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang