“Bil, kita pergi ke cake shop, yuk.” Bunyi notifikasi pesan yang tiba-tiba muncul di layar ponsel Nabila. Ia baru saja selesai menaruh tasnya di meja setelah pulang dari tempat ia bekerja. Nabila membaca pesan itu. Dari Abimanyu.
Ia menghela napas panjang sambil bergumam, “Baru juga nyampe rumah, udah diajak keluar lagi.”
Meski begitu, senyum tipis terukir di wajahnya. Tentu saja, ia senang mendapat ajakan dari Abimanyu, meski sedikit lelah.
Nabila mengetik balasan pesan Abimanyu. “Jam berapa, Bi?”
Tak butuh waktu lama, ponselnya kembali bergetar. “Kamu siap-siap dulu, terus aku jemput langsung ya,” balas Abimanyu.
Nabila melirik jam di dinding, waktu masih sore. “Okey, aku siap-siap dulu ya,” jawabnya cepat.
Senyum mengembang di wajahnya. Meski tergesa, Nabila bersemangat bersiap. Dibalut perasaan hangat, ia bergegas membuka lemari dan memilih pakaian yang pas. Sambil menyisir rambut, pikirannya melayang. Hari ini adalah momen kebersamaan yang tak ingin ia lewatkan.
Mereka tiba di cake shop favorit yang selalu ramai dengan aroma manis kue baru. Suasana hangat dengan alunan musik lembut memenuhi ruangan. Abimanyu menarik kursi untuk Nabila sebelum duduk berhadapan di sudut ruangan, ditemani cahaya sore dari jendela besar.
Obrolan ringan mengalir, tawa pecah, dan sesekali candaan Abimanyu membuat Nabila nyaris tersedak.
“Tuh kan, Bi, aku sampai hampir tersedak gara-gara kamu!” keluh Nabila sambil memukul lengan Abimanyu, meskipun wajahnya tetap dihiasi tawa.
Abimanyu tertawa kecil. “Maaf deh, Bil, tapi kalo kamu lihat mukamu tadi, pasti kamu juga bakal ketawa.”
Mereka melanjutkan makan dalam keheningan sejenak, sampai tiba-tiba Nabila meletakkan garpunya dan menatap Abimanyu dengan serius.
“Eh, aku ada ide,” ucap Nabila dengan nada antusias. “Gimana kalau kita bikin usaha kue juga? Aku lihat bisnis ini seru, dan kayaknya kita bisa coba.”
Abimanyu, yang sedang menyuap potongan kue ke mulutnya, terhenti sesaat dan menatap Nabila. “Wah, ide bagus tuh, Bil! Kapan kita mulai bikinnya?” tanyanya dengan mata berbinar-binar, tampak tertarik dengan gagasan itu.
Nabila tersenyum, tetapi senyumnya tak sepenuhnya cerah. Ia menghela napas pelan, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan. “Tapi, kalau kita bikin usaha kue, kita harus resign dari pekerjaan kita.
“Gimana, Bi?” Tatapannya perlahan meredup, terlihat ada sedikit kekhawatiran di balik senyuman manisnya.
“Aku nggak yakin bisa ninggalin pekerjaan sekarang ...”
Abimanyu menatap Nabila dengan lembut, lalu tersenyum tipis, mencoba menenangkan perasaan gadis di depannya.
“Iya, aku paham, Bil. Nggak apa-apa kok, kalau sama kamu, aku siap,” jawabnya dengan tenang.
“Aku percaya, apa pun yang kita lakukan bareng, pasti bisa berhasil.”
Nabila menatapnya, sedikit terkejut dengan kepercayaan diri Abimanyu. Ada sesuatu dalam cara Abimanyu mengucapkan kata-kata itu yang membuat Nabila merasa lebih ringan. Meski banyak hal yang harus mereka pertimbangkan, dukungan Abimanyu memberinya kekuatan.
“Makasih, Bi,” ucap Nabila pelan, hatinya terasa lebih tenang.
Abimanyu mengangguk sambil tersenyum hangat, “Selalu ada jalan kalau kita mau coba, Bil.”
Keduanya lalu kembali memakan kue, tetapi kini ada rencana baru yang terlintas di benak mereka, mengisi percakapan sore itu dengan impian yang baru terbentuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
May I Love U?
Teen FictionBertemu secara kebetulan, tetapi apakah pertemuan denganmu itu hanya kebetulan belaka? Bukan hanya dua kali, tetapi berkali-kali kebetulan mempertemukan kita. Dari kebetulan-kebetulan itu, seorang gadis mulai menyukai laki-laki yang ditemuinya. Mesk...