cw//tw
Happy Reading
"Setumpuk alasan itu pada akhirnya hanya mengacu pada kekurangan yang tidak mampu terelakkan."
- Hirap Abadi Bab 4 -
Hari Rabu seperti biasanya akan menjadi hari tersibuk di sekolah tempat Haka mengemban pendidikan. Pagi ini langit tampak bergembira, langitnya tampak biru muda dengan hamparan awan, terik matahari yang memancar ke arah lapangan. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. .
Tepat setelah bel masuk berbunyi dan agenda mengaji bersama telah selesai, seluruh siswa berbondong-bondong turun ke bawah untuk melakukan agenda selanjutnya, yaitu pramuka. Riuh nya suara seluruh siswa yang berusaha baris tampak memadati lapangan sambil membawa tongkat khas pramuka.
Sementara itu, di tengah keramaian para siswa yang sudah mulai mendengarkan guru pembimbing di depan, terlihat Haka yang ikut berbaris pada banjar yang paling belakang. Ia sedikit berjinjit untuk melihat apa yang sedang terjadi di depan.
Hampir selama lima belas menit lebih cowok itu berupaya untuk melihat dan sedikit menangkap suara guru pembimbing. Namun sayang, sepertinya usaha Haka untuk mendengar tidak bisa terkabulkan. Suara resonansi guru pembimbing nya terlalu jauh untuk menjangkau Haka. Alhasil cowok itu memilih untuk tetap berdiri di barisan tanpa perlu bersusah-payah melihat ke depan.
Pupil hitamnya melirik ke kanan dan ke kiri, ia berusaha mencari keberadaan dua sahabatnya itu. Haka ingin memastikan apakah Ian benar-benar berangkat sekolah atau tidak. Pasalnya pagi tadi, pada pukul enam cowok itu sedikit tergesa-gesa saat pertama kali bangun dari tidurnya. Ia sedikit mengomel karena telat bangun, alhasil Ian pergi dengan cepat dan berpamitan sekenanya oleh Haka dan Ibu panti.
Nihil, Haka tidak menemukan Ian maupun Juan. Mimik wajahnya berubah sedikit cemberut.
Hingga pada saat guru pembimbing sudah selesai memberikan arahan dan barisan hendak dibubuarkan, Haka masih saja menoleh ke kanan dan ke kiri, netranya masih berusaha menangkap presensi Juan dan Ian.
"Lo nyari Ian?" tiba-tiba saja orang yang berdiri di sebelah Haka berbicara. Haka menoleh dengan spontan.
"Ian ke UKS sama Juan."
Mendengar itu mata Haka membulat. Seolah paham dengan raut wajah terkejut Haka, cowok di sebelah nya kembali berujar. "Iya, tadi pas mau keluar Juan mendadak oleng kayak orang mau pingsan."
Mendadak Haka merasa cemas, kakinya ingin sekali ia bawa untuk melangkah pergi meninggalkan lapangan. Ia khawatir sesuatu hal buruk terjadi dengan sahabat nya itu.
"Jangan panik, Juan nggak kenapa-kenapa. Lo nggak perlu buru-buru buat liat dia. Tunggu barisan dibubarin, baru lo bisa pergi," sarannya.
Hingga pada lima menit setelah ia menunggu dengan cemas, pembina di lapangan secara resmi membubarkan barisan. Banyak siswa yang memencar, terpecah menjadi banyak kelompok, dan siap untuk membuat suatu hal yang baru. Sementara lelaki dengan tubuh semapai itu justru melangkah tergesa meninggalkan lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap Abadi
Fiksi Remaja"Kesunyian ini bukan pilihan, tapi jika bisa, aku ingin hidup tanpa dinding yang memisahkan aku dari suara." ft. Haechan & Jeno Lelaki berusia delapan belas tahun itu bernama Haka Bumi Artanaka. Pemuda yang memiliki semangat luar biasa untuk tetap...