⚠️Cw//Tw mention death⚠️Happy Reading
"Kita memang memiliki segudang harapan yang selalu dilangitkan. Akan tetapi, jangan lupakan fakta bahwa Tuhan memegang andil dalam mewujudkan dan memutuskan harapan itu."
- Hirap Abadi Bab 5 -
Lagi-lagi hujan dengan deras turun di luar sana disertai dengan suara petir yang menggema. Suasana di dalam kelas menjadi semakin berisik ketika gemericik hujan terdengar syahdu berirama. Hawa sunyi di dalam kelas terasa begitu tenang hingga membuat beberapa siswa di dalam kelas tanpa sadar menutup kedua kelopak matanya di atas buku paket sejarah yang tebal.
Sementara itu, saat ini di kelas dua belas IPS 3 tidak ada jam pelajaran. Ah lebih tepatnya hampir semua guru pembimbing sedang tidak masuk ke seluruh kelas dikarenakan ada rapat evaluasi. Akibatnya suasana di kelas menjadi tidak teratur. Banyak meja dan kursi yang sudah tidak tertata, ada begitu banyak suara yang menggema di ruang kelas Haka.
Anak perempuan di depan sedang beramai-ramai menonton film horror melalui proyektor sementara anak laki-laki di belakang sedang bermain game online, tatkala mereka memaki dengan kasar karena tidak ada jaringan.
Sementara itu, Haka duduk di kursinya sambil menatap keluar jendela. Sebelah tangannya menopang pipi kanan cowok itu. Tatapannya kosong membiarkan pikirannya berkelana.
Kalau boleh jujur, perasaan Haka saat ini persis seperti cuaca di luar. Hujan dan kelabu. Terbesit rasa kekecewaan, marah, dan tidak sudi menerima kekurangannya saat ini. Haka tidak akan berbohong kalau ia, belum sepenuhnya menerima kekurangan.
Kalau saja empat tahun lalu ia bisa hidup dengan aman, kalau saja tragedi itu tidak menimpanya, kalau saja empat tahun itu bisa ia lewatkan dengan baik, mungkin saat ini Haka masih menjadi anak remaja yang sempurna pada umumnya, hidup di dalam sebuah rumah yang lengkap dengan Papa dan Mama nya.
Haka sangat penasaran mengenai rumahnya kala itu. Mungkinkah empat tahun lalu Haka memiliki rumah yang hangat? Mungkinkah empat tahun lalu Haka selalu disambut kepulangannya? Haka sangat penasaran.
Selama bertahun-tahun lelaki itu mencoba untuk mengingat, tapi tetap saja tidak ada satupun memori yang dapat ia ingat. Semua yang terbesit di dalam ingatan Haka seperti kaset rusak yang tidak memiliki gambar, semuanya buram, tidak beraturan, dan selalu berakhir pada kilatan cahaya mobil.
"Ada Haka nggak?" Suara Ian mengintip dari balik pintu kelas Haka menginterupsi atensi para siswa.
Salah seorang siswa menoleh ke arah Haka seolah tengah memberikan jawaban kepada Ian.
"Ka!!"
"Nggak bakalan denger, anaknya nggak pake alat bantu dengar."
Ian mengangguk paham. Tanpa izin oleh penghuni kelas Ian melangkah masuk disusul oleh Juan yang sedari tadi menunggu di belakang Ian. Mereka berdua lantas duduk di kursi depan meja Haka. Sementara itu sang empu masih termenung dalam diam sambil menatap ke arah luar jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap Abadi
Fiksi Remaja"Kesunyian ini bukan pilihan, tapi jika bisa, aku ingin hidup tanpa dinding yang memisahkan aku dari suara." ft. Haechan & Jeno Lelaki berusia delapan belas tahun itu bernama Haka Bumi Artanaka. Pemuda yang memiliki semangat luar biasa untuk tetap...