"Zac, apa yang sedang kaulakukan di kamarmu? Dari pagi tadi kau tidak keluar dari kamarmu, bahkan kau menyuruh Powell untuk mengambilkan makananmu." Jacob terlihat khawatir pada Zac. Dia khawatir jika Zac sakit atau sedang dalam keadaan gilanya. Dia pun berdiri di dekat Zac yang sedang duduk seraya mengecek dokumen-dokumen dan berbagai gambar rumah yang sangat besar dari berbagai sisi di hadapannya.
Zac menghela napasnya. Tetapi dia tidak mengacuhkan Jacob yang memanggilnya. Dia tetap mengecek dokumen-dokumen di hadapannya itu.
Jacob mendengus kesal. "Zac. Aku di sini. Aku sedang berbicara padamu."
"Apa kau tidak melihat diriku sedang sibuk, Jacob?" tukas Zac dengan cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen itu.
Lagi-lagi, Jacob mendengus kesal. Kemudian, dia berkacak pinggang. "Kau sedang apa?"
"Mencari cara untuk membunuh Joshua Frederick," gumam Zac tanpa mengalihkan pandangannya.
Jacob pun menghela napasnya. Lalu, dia melihat-lihat dokumen-dokumen dan foto-foto yang tergeletak di atas meja kerja Zac. "Oh, kau sedang mempelajari rumahnya, kan? Mudah saja. Kau berpura-pura melamar menjadi penjaganya. Lalu, di saat yang tepat, kau bisa membunuhnya."
Sontak, Zac terhenti. Matanya membelalak melihat wajah Jacob yang melemparkan tatapan bingung padanya.
"Kenapa?"
"Kau brillian, Jacob!" seru Zac senang. Lalu, dia mencampakkan pena yang sedari tadi ia pegang ke meja kerjanya. "Kenapa aku tidak memikirkannya dari tadi?"
Jacob mengembuskan napasnya kuat. Dia memaklumi sikap Zac yang terkadang terlihat idiot dan mengesalkan. "Kau tak pernah berubah, eh. Dasar Zachary."
Seketika, Zac pun terkekeh seperti anak kecil. Kemudian, dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Jacob yang melihat kelakuannya pun menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, ya. Apakah kau sudah memberi makan wanita tua itu?" tanya Jacob dengan serius.
"Hmm, aku tidak tahu. Tadi aku menyuruh Powell untuk memberinya makan. Tetapi, aku tidak tahu apakah Powell sudah melaksanakannya atau belum," ketus Zac. Lalu, dia memeluk bantalnya dan mengerang malas.
"Jangan sampai dia mati."
"Tidak akan, Jacky. Aku akan menggunakannya sebagai umpan untuk seseorang."
"Terserah dirimu, Zac. Aku ingatkan sekali lagi, wanita tua itu jangan sampai mati." Jacob pun berbalik dan segera melangkah keluar dari kamar Zac.
"Hmm," gumam Zac. Kemudian, dia memejamkan matanya. Seketika, benaknya pun teringat pada sosok wanita yang dia cintai. Mulutnya pun membentuk seringai yang bahagia.
Arya, bagaimana kabarmu? Ingin aku mengecup bibirmu lagi...
҉
Arya menyandarkan kepalanya di dada bidang Ian. Kini kamarnya tak lagi sesepi yang dia rasakan sejak Ian pergi meninggalkannya. Sosok kekasihnya kembali mengisi kekosongan kamar itu. Bahkan Ian tak sabar untuk menghabiskan waktunya bersama Arya setelah dia menidurkan Garry yang mulai bermanja-manja dengan dirinya. Ian memang sangat menyukai anak-anak, dan melihat wajah Garry yang memelas untuk menemaninya tidur pun dia tak tega. Setelah Garry tertidur pulas, barulah Ian bergegas mengajak Arya pergi ke apartemennya. Dia memang sangat merindukan kamar kekasihnya itu.
Tangan Ian membelai lembut rambut Arya. Dia sangat rindu suasana seperti ini. Terlebih lagi rasa rindu yang telah meluap-luap mereka curahkan saat mereka bercinta.
Arya melingkarkan tangannya di tubuh Ian. Dia merasakan detak jantungnya yang berdetak seirama dengan detak jantungnya. Dia pun menyeringai bahagia. Tak ingin rasanya dia berjauh-jauhan dengan kekasihnya.
"Katakan semuanya padaku, Ian," Arya berkata lirih tanpa menengok Ian. Dia hanya ingin terus-menerus mendengar detak jantung Ian. Bagaikan sebuah irama musik favoritnya.
Ian menghela napasnya dalam-dalam. Tentu saja dia ingin menceritakan semuanya pada Arya. Seperti janjinya dulu—tak ada lagi yang ditutup-tutupi pada kekasihnya. Tetapi, mungkin ada beberapa hal yang tak bisa dikatakannya sekarang.
"Aku pergi untuk melakukan perjalanan bisnis dan menikmati belahan dunia mana pun," Ian mendesah, "membantu Maverick mengatasi masalah-masalah dalam perusahaan cabangnya."
Sontak, Arya mendongak pada Ian. Dia melemparkan tatapan terkejutnya pada kekasihnya. "Tunggu dulu. Jadi, Maverick selama ini tahu kau pergi ke mana?" tanyanya tak menyangka.
Ian mengangguk pelan. Dia menyunggingkan senyumannya. Terlihat lesung pipi yang terbentuk di balik jambangnya yang tidak terlalu lebat. "Maafkan aku, Arya. Aku hanya tak ingin kau khawatir. Semua itu karena aku pergi karena aku mempunyai tujuan utamaku. Membantu Maverick hanyalah sampingan saja."
"Apa maksudmu, Ian? Kenapa kau memutuskan kontak denganku?"
Lagi-lagi, Ian mendesah. Tangannya mulai meremas tangan Arya. Dia pun menegakkan tubuhnya. Air mukanya berubah serius, namun tatapannya tetap lembut pada Arya.
"Setelah membaca dokumen-dokumen tentang kebenaran yang Frederick berikan padaku, aku kembali mempelajarinya dengan serius. Ayahku pernah menghamili seorang pelacur saat dia masih muda. Aku tahu kau telah membacanya juga. Pelacur itu berasal dari Brasil. Dia adalah imigran gelap yang datang ke Inggris. Setelah beberapa minggu saat Ayahku mengusirnya, dan dia kembali ke Brasil. Aku mencoba meminta Ray untuk mencari wanita itu. Untung saja, Frederick masih mengingat nama wanita itu."
"Tunggu. Jadi, Ray tahu ke mana kau pergi dan dia berpura-pura tidak tahu ke mana kau pergi?" seketika, suara Arya mulai meninggi. Dia merasa telah dibohongi oleh sahabatnya sendiri.
Dengan lembut, tangan Ian memegang bahu Arya. "Sayang, jangan marah padanya. Marahlah padaku karena aku yang memohon padanya untuk tidak mengatakannya padamu," tuturnya lembut.
Arya mengembuskan napasnya kuat. Lalu, dia memijit keningnya perlahan. Napasnya mulai memburu. Dia masih tak menyangka kalau sahabat-sahabatnya tahu ke mana Ian pergi. Sedangkan dirinya yang tak tahu apa pun dan mereka mencoba untuk menyembunyikan semua itu darinya.
Seketika Ian memeluk Arya. Dia berusaha menenangkan emosi kekasihnya yang mulai meluap-luap. Dia tahu bahwa dirinya salah, namun dia melakukan semua itu karena ada alasannya.
"Kau sudah tenang sekarang? Aku takkan melanjutkan semuanya jika kau tak ingin mendengarnya," tukas Ian.
"Aku tidak apa-apa, Ian. Aku hanya... tidak menyangka. Itu saja," gumam Arya dalam pelukan Ian.
Ian melepaskan pelukannya. Dia menarik selimut yang merosot dari tubuh Arya, lalu disangkutkan kembali di bahu Arya, menutupi tubuh terbukanya. Arya menatap Ian dengan enggan. Kini, emosinya pun mulai stabil. Semua itu karena pelukan Ian.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine (Sequel of Yours)
Mystery / ThrillerKepergian Ian membuat Arya berusaha untuk memecahkan kasus-kasus yang membahayakan dirinya semata-mata hanya untuk berita-berita yang ditulisnya. Namun, alasan di balik semua itu hanyalah alasan Arya untuk mencari Ian yang menghilang tanpa kabar dan...