Happy reading guys
.
.
.
.
.Malam begitu dingin namun rembulan bersinar dengan terang diluar sana. Sinarnya menyinari kota yang saat ini telah berangsur-angsur sepi dikarnakan para penghuninya telah mengistirahatkan diri di tempat ternyamannya masing-masing, hanya beberapa dari mereka yang masih sadar dan belum beristirahat seperti seorang gadis bersurai ungu yang tengah merendamkan dirinya dalam bathtub berisi air dingin.
Helaan nafas panjang terdengar, "fuck it" umpat gadis itu dalam benaknya.
Rasa sakit disekujur tubuhnya saat ini masih sangat terasa terutama pada bagian punggungnya namun itu semua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan sesak dalam hatinya, rasanya begitu nyata hingga susah untuk disembuhkan.Perlahan. Echi, gadis itu menenggelamkan kepalanya hingga terendam setara dangan tubuhnya, cukup lama hingga rasa sesak didadanya terasa. Setelah merasakan rasa sesak yang semakin bertambah Echi dengan perlahan mulai memunculkan kepalanya lagi, dengan rakus Echi menhirup udara disekitarnya.
Dingin mulai menusuk tulang namun Echi tak kunjung menyudahi kegiatan berendamnya, kulitnya saat ini telah seperti kulit sang snow white namun bedanya ia yeng telah pucat pasif, bibirnya bergetar bahkan tubuhnya telah menggigil, tatapan kosong yang menambahkan kesan menyedihkan membuat siapapun pilu melihat keadaan gadis satu ini.
Deratan pintu terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat pada area kamar mandi. "de?..." Panggilan lirih dari luar kamar mandi membuat senyuman tipis muncul dibibir gadis itu. Tak lama setelah panggilan itu ketukan pada pintu juga terdengar.
"lagi lagi lo telat kak..." Ucap sang gadis lirih namun dapat terdengar oleh pemuda yang saat ini tengah mengetuk pintu. "kaka masuk boleh?" Tanya sang pemuda lirih, "boleh... selalu boleh..." Suara yang begitu lirih membuat rasa khawatir makin bergejolak pada benak pemuda itu.
Perlahan, pintu kamar mandi terbuka dan seorang pemuda masuk. Pemuda itu membelalakan matanya melihat sang adik dengan kondisi seperti ini sungguh sakit hatinya melihat wanita yang ia jaga berantakan seperti ini tak bisa dipungkiri seberapa rasa bersalah pada diri pemuda serta rasa gagal untuk menjaga wanita kesayangannya ini.
"de..." Panggilnya lirih. Dan tanpa pikir panjang pemuda itu langsung mengangkat tubuh rapuh yang telah pucat layaknya mayat hidup. *fyi echi sebenernya masih pake baju setelan sehari hari ya guys
"kak... sakit...," Keluh raga rapuh itu, "kak... dingin...," Keluhnya lagi. "lo tadi kemana?... lo telat kak" Ucap sang gadis lirih.
Dion yang mendengar pertanyaan dari sang adik sedikit tergagap beserta rasa bersalah yang teramat dalam, "maaf..." Ujarnya tepat di sebelah kuping sang adik atau Echi.
Senyuman yang teramat dipaksa terulas di bibir Echi, "ga papa kak,..." Balasnya. "aku udah biasa" Batinnya melanjutkan.
Seulas senyum lega terlihat pada bibir tipis Dion lalu ia menurunkan Echi di lantai dan keluar dari kamar, entah apa yang dilakukan Dion, Echi tak peduli sekarang ia hanya diam menahan rasa sakit disekujur tubuhnya, namun lama kelamaan dengan perlahan pandangan Echi mulai mengabur dan gelap.
***
Bulan berganti dengan matahari yang mulai memunculkan dirinya.
'indah' itulah yang selalu pemuda surai merah ini katakan, dan siapa pemuda itu? tentu saja dirinya adalah Caine. Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul namun pemuda satu ini telah bersinar layaknya cahaya matahari. Bahkan Caine tampaknya lebih bersinar daripada sinar matahari? benar begitu bukan?, yeah itu menurut kalian masing masing.
Saat ini Caine sedang berjalan jalan di rooftop rumah sakit, yang dimana fooftop itu dijadikan taman oleh pihak rumah sakit yang membuat angin menjadi sejuk karna banyaknya tanaman dan beberapa pepohonan.
Hembusan angin sepoi-sepoi membuat gerakan pada rambut Caine yang sangat indah itu, mata emasnya seakan-akan sedang memindai sesuatu yang berada di depannya.
Namun Caine tak menyadari bahwa sepasang mata tajam sedang mengamatinya di ambang pintu rooftop, mata tajam yang bewarna ungu gelap dengan tatapan yang dingin membuat siapapun akan bergidig ngeri melihat pemuda ini.
"caine..."
Merasa namanya terpanggil membuat Caine mengalihkan pandangannya pada sumber suara. Seulas senyum terlihat bersamaan dengan tatapan hangat dari Caine membuat seorang Rion tertegun disuguhi pemandangan yang sangat indah saat ini."ya?... kenapa rion?" Tanya Caine dengan senyum yang tak luntur dari bibir tipisnya itu. "Ekhm... ee... ga papa kok," Balasnya gelagapan. "oh ya... ngapain disini?" Tanyanya berbasa basi, ia pun mendekat pada Caine dan mensejajarkan tempatnya berdiri.
"ga papa kok... cuma nyari angin aja" Balas Caine. Pandangan Caine saat ini ia fokuskan pada beberapa gedung tinggi yang membuatnya sedikit tertarik pada pemandangan kota?. Berbeda dengan Caine, saat ini pandangan Rion terfokus pada keindahan yang sangat ia syukuri bisa melihat keindahan tiada tara yang membuatnya kagum, apakah itu? ya! tentu saja itu Caine siapa lagi jika bukan dirinya.
"ga bosan kah?" Tanya Rion, mereka sudah terlalu lama berdiam diri tanpa adanya perbincangan dan topik membuatnya sedikit merasa bosan. "em...? yon? kalo menurutmu aku bisa ga jadi dokter suatu hari nanti" Ujar Caine namun pandangannya tak ia rubah sedikit pun.
Rion sedikit bingung harus menjawab apa ia juga bingung pada pertanyaan mendadak dari Caine, ia bahkan tak menyangka bahwa Caine akan menanyakan hal seperti itu. "bisa aja... asal," Caine menatap Rion seolah bertanya 'apa?' melalui tatapannya itu karna ia bingung mengapa Rion menjawab setengah-setengah?
"... asal kamu bersungguh-sungguh dan benar-benar tekun belajar" Lanjutnya. Rion merasa gemas pada temannya ini terutama pada reaksi yang ia berikan pada jawaban dirinya.
"tapi... kalo umur ku?... gimana sama umurku?..." Ucap Caine sangat lirih bahkan Rion yang disebelahnya saja tak dapat jelas mendengarnya. "hm?... apa? suaramu terlalu kecil" Tanya Rion atas apa yang barusan Caine ucapkan.
Caine tersenyum manis, "ga kok... ga papa... itu kalo semisalnya aku ga bisa... mau ga gantiin aku?" Ujar Caine. Senyum manis tak luntur dari bibirnya dengan binar di matanya.
Rion mengangkat salah satu alisnya seolah olah ia sedang bertanya 'mengapa?', "aku yakin kok kalo kamu bisa." Balas Rion sedikit menyemangati Caine.
"tapi... kalo aku ga bisa... janji ya bakal gantiin aku...," Ucap Caine tangannya telah berada di depan dadanya bersamaan dengan jari kelingking yang telah terangkat matanya berbinar penuh harap bersamaan senyuman yang tiada hentinya terpancar.
Melihat itu, rasa heran muncul benak Rion ia juga sedikit ragu untuk menyetujui janji itu karna belum tentu ia dapat memenuhi janjinya. Rion diam tanpa memberi respon pada Caine, ia menundukan kepalanya agar tak melihat binaran mata Caine yang seolah seperti hipnotis baginya.
"aku...."
to be continued...
thank you for reading
jangan lupa vote ya biar authornya tambah semangat
KAMU SEDANG MEMBACA
Bolehkah aku bahagia
Random''ion janji bakal jaga ain'' ''....ain harap ion bisa menuhin janji ion suatu hari nanti'' By: kairi_ryu