"Aku..."
.
.
.
.
."... Aku ga bisa janji," balas Rion
Caine tersenyum lalu mengalihkan pandangannya dari Rion, "Why?" tanyanya lirih.
"..." Rion terdiam mendengar pertanyaan Caine, lalu ia mengikuti arah pandangan Caine.
"Karna itu impianmu jadi dirimu yang harus mencapainya bukan aku," balas Rion pada pertanyaan Caine. Caine yang mendengar itu hanya diam tanpa membalas ucapan Rion sedikit pun namun seulas senyum tipis mungkin telah menjadi jawaban dari balasan Rion.
Rion mengandeng tangan Caine lalu menariknya perlahan agar Caine ikut berjalan dan pergi dari tempat itu. Caine hanya diam tatapannya kosong bahkan ia sama sekali tak menanyakan mereka ingin kemana, pikirannya saat ini hanya tertuju pada ucapan Rion.
"Caine," panggil Rion, namun sayangnya tak ada respon dari Caine.
"Caine."
"Caine!?" Rion sedikit kesal karna panggilannya tak ada respon sama sekali dari Caine, dengan sengaja Rion berhenti mendadak dan membuat Caine menubruk punggungnya, Caine tersadar dari lamunannya dan ia pun mengaduh sakit akibat ia yang tak sengaja menumbruk punggung Rion.
"Kenapa melamun?" tanya Rion. Saat ini dirinya telah membalik badannya menjadi berhadapan dengan Caine.
Caine menggelengkan kepalanya, "Ga papa kok." Bohong? ya Caine berbohong.
Rion terdiam sejenak, saat ini ia tengah memperhatikan Caine dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh selidik seolah Caine sangat mencurigakan.
Caine menundukan kepalanya, ia tak berani melihat mata Rion yang tajam dan penuh selidik itu, ia takut Rion tau bahwa ia berbohong padanya. Dengan ragu-ragu Caine bertanya, "Ke-kenapa?" tanyanya gugup.
Rion mengangkat satu alisnya, "Justru seharusnya aku yang tanya kamu kenapa?... gugup gitu," balas Rion pada pertanyaan Caine.
Caine kembali gugup, "A-.. aku-aku ga papa," gugupnya. Rion yang melihat itu semakin penasaran namun ia memutuskan untuk tidak memperpanjang dan ia pun langsung menggandeng Caine pergi bersama ke ruang rawatnya.
.
.
.
.
."Ughh..." leguh seorang pemuda yang baru saja tersadar dari tidurnya.
"Good morning," sapa Gilbert pada Exu pemuda yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya. "Emh...???" Exu yang Masih mengumpukan nyawa pun take dapat membalas sapaan pemuda yang berada didepannya itu.
Setelah kesadarannya benar-benar pulih, Exu terlonjak kaget serta bingung dimanakah ia saat ini? dan mengapa ia disini?
Seolah tau apa yang ingin dipertanyakan Exu padanya, Gilbert terlebih dulu menjelaskan bagaimana ia bisa berada disini tepatnya di apartemen miliknya sendiri, "Yah... jadi gini singkatnya nih ya lo itu ketiduran pas lagi nangis di pinggir pantai dan Karna gw ga tau lo tinggal dimana Karna lo sama gw kan baru kenal nih ya, jadi yaaa... gw bawa aja lo kesini aja, daripada gw tinggal lo kan dipantai," jelasnya panjang lebar pada Exu.
Exu terdiam sejenak lalu mulai mengingat-ngingat kejadian di pantai malam itu. "Udahlah ga usah diingat-ingat, lagian gw ga nyulik lo kok." Celetuk Gilbert.
"Em... aku cuma heran aja sama cara bicara kamu yang udah berubah dari cara bicaramu pada malam itu, dan seolah kita akrab dan sang at akrab," ujar Exu.
Kekehan mulai terdengar di pendengaran Exu bahkan bukan sekedar kekehan lagi namun talah menjadi tawa. "Udahlah... lagian cara bicara juga bisa berubah sesuai keadaan, kalo masalah tentang keakraban mungkin saat ini kita belum akrab tapi ga tau kedepannya nanti gimana kan? bisa jadi kita akrab dan sangat akrab malah," jelas Gilbert diselai oleh kekehan.
Exu terdiam atas balasan yang Gilbert berikan, Gilbert memang benar mereka bisa saja akrab hanya dalam hitungan waktu. "Udahlah ga usah dipikirin, ayo... mending kita sarapan dah di warteg depan sonoh," ajaknya pada Exu yang masih termenung.
"Em... tunggu mau mandi dulu," ucap Exu. "Buset dah... kaga perlu, udah ayo kita langsung ke sana aja." Gilbert tampak terkejut Karna pemuda di depannya ini sangat rajin baginya.
"Kalo gitu lo cuci muka dulu dah," ujar Gilbert pada Exu yang langsung mendapat anggukan darinya.
.
.
.
.
.
.Cahaya terang matahari menembus sela-sela gorden yang transparan membuat silau mata sang gadis yang tengah tertidur nyenyak dan dengan perlahan ia mulai membuka matanya, "Ughh..." leguhnya.
"Pagi cantiknya kaka," sapa sang pemuda yang tak lain tak bukan adalah kakanya. Kerutan muncul di sela-sela alis sang gadis, "Kesambet apa lo... tumben amat," ujar sang gadis yaitu Echi pada kakanya Dion.
Dion yang mendengar itu hanya senyum dan mendudukan dirinya disamping adiknya yang sedang tiduran dikasur. "Gimana?... Masih ada yang sakit?" tanyanya dengan khawatir. "Apa peduli lo!?" balas Echi ketus. "Gw dipukuli aja lo entah ilang ke mana... dan sekarang lo pura-pura peduli gitu?" lanjutnya menceramahi.
"Ga gitu de... gw kemaren ada urusan mendadak... dan maaf kalo gw ga ada di sisi lo saat lo lagi dipukuli." Raut wajah sedih bercampur khawatir terlihat jelas pada wajah Dion namun walau begitu Echi tak mempercayainya sama sekali dikarnakan setiap ia disiksa oleh keluarganya pasti Dion tak berada di sisinya dan alasannya selalu sama yaitu urusan yang mendadak entah itu nyata atau tidaknya Echi tak tau.
"Kenapa si ka? kenapa?... kenapa kaka selalu bilang kalo kaka ada urusan mendadak... kenapa ka? lo ga punya Alaskan lain hah!? apa Selamat ini lo bohong!?" ujar Echi. Ia sedah muak pada seluruh alasan yang Dion berikan.
"De... kaka berani sumpah de kalo kaka ga bohong," balas Dion mencoba membela dirinya sendiri.
Echi memalingkan wajahnya dan take ingin menatap kakaknya, "Lalu kenapa ka?... kenapa lo selalu ga ada di sisi gw pas gw dipukuli sama ayah kak... kenapa kak?" ujarnya lirih. Tak terasa rasa sesak di dada Echi muncul begitu saja bahkan matanya telah berkaca-kaca, ingin sekali ia menangis namun ia tak ingin terlihat lemah saat di hadapan kakanya.
Batin Echi telah meronta-ronta tuk melepaskan rasa sesak didadanya namun dengan sekuat tenaga ia tahan. "De... nangis bukan berarti lemah de... kalo nangis, nangis aja de," ucap Dion sembari mengelus-elus rambutan adiknya Echi.
Ucapan Dion membuat Echi tak dapat menahan rasa sesaknya lagi, buliran air bening yang sedari tadi terbendung talah meluncur dengan derasnya, perlahan isakan demi isakan pun terdengar, sungguh pilu hati Dion mendengar isak tangis adiknya, hatinya layaknya tersayat beribu katana mendengar isak per-isak dari tangis adiknya, hancur sudah hatinya saat ini.
Tanpa keraguan Dion langsung memeluk adiknya, "De... luapin de... luapin semuanya... jangan ditahan." Rasanya ia sangat susah mengatakan sepatah kata pun, saat ini dadanya ikut sesak bahkan buliran air telah turun dari pelupuk matanya, rasanya ia sangat susah untuk mengucapkan sebuah kata lagi.
"Kak..." Echi membalas pelukan kakanya dan menyembunyikan wajahnya di dada milik kakanya, dadanya saat ini sungguh sangat sesak.
.
.
.
.
.To Be Continued...
jangan lupa vote ya >-<
KAMU SEDANG MEMBACA
Bolehkah aku bahagia
Random''ion janji bakal jaga ain'' ''....ain harap ion bisa menuhin janji ion suatu hari nanti'' By: kairi_ryu