Di Antara Debu dan Asap Kota

10 0 0
                                    

Langit kota mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi oranye keemasan. Cahaya matahari sore memantul di kaca-kaca gedung tinggi yang mengelilingi jalan raya. Di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang memadati setiap sudut jalan, Andi menunggu dengan sabar di atas motornya. Helm hijau khas pengemudi ojek online menempel di kepalanya, seolah menjadi penanda peran yang ia jalani setiap hari di kota besar yang tak pernah tidur.

Keringat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan udara lembab ibu kota. Andi menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menyergap. Ada permintaan perjalanan yang masuk melalui aplikasi, dan meskipun ini hanyalah satu dari sekian banyak penumpang yang ia layani setiap hari, entah kenapa kali ini terasa berbeda. Nama penumpangnya: Sari.

Andi tiba di depan gedung perkantoran mewah yang berdiri megah di pinggir jalan. Gedung ini seperti raksasa yang mengawasi ribuan manusia yang lalu-lalang di bawahnya. Di antara mereka, Andi hanyalah sosok kecil yang menanti, tersembunyi di balik helm dan seragam hijaunya. Ia memandangi ponselnya sejenak, berharap penumpangnya segera keluar, dan tidak perlu menunggu lama di bawah terik matahari.

Tak lama, pintu kaca gedung terbuka. Dari dalam, seorang wanita muncul, berjalan dengan langkah pasti namun lembut. Rambut hitamnya tergerai indah di bahunya, pakaian kantornya berwarna krem yang rapi dan elegan memancarkan aura profesionalisme. Sari. Namanya terasa asing namun menenangkan di telinga Andi. Wanita itu berbeda dari penumpang lain yang sering ia bawa. Ada sesuatu yang menarik perhatian Andi, meski ia tak sepenuhnya mengerti apa itu.

Dari kejauhan, Andi merasakan debar jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia segera menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergap. Seorang pengemudi ojek sepertinya tidak pantas merasakan hal seperti ini. Namun, detik itu juga, hatinya berkata lain.

Sari melangkah mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Mas Andi, ya?" tanyanya lembut.

Suara itu langsung menembus hati Andi. Ia hampir tersedak oleh rasa gugup yang tak bisa dijelaskan. "I-iya, Mbak. Ke mana, Mbak?" jawabnya dengan suara sedikit serak, sambil berusaha menjaga sikap profesional.

"Ke daerah Sudirman, mas. Buru-buru nih," jawab Sari sambil tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ada sesuatu yang nyaman dalam senyum itu, seperti sinar matahari yang menembus kabut dingin di pagi hari.

Andi segera mengangguk, berusaha tenang. "Siap, Mbak," katanya singkat sambil memutar gas motornya.

Sepanjang perjalanan, angin sore yang mulai sejuk berhembus lembut. Jalanan macet, seperti biasa, namun kali ini Andi merasa suasana lebih tenang. Dia sesekali melirik kaca spion, melihat wajah Sari yang serius menatap ponselnya. Andi mencoba fokus ke jalanan, namun pikirannya terus mengembara ke belakang, ke wanita yang duduk di kursi belakangnya.

Ada sesuatu yang berbeda dari penumpang ini. Bukan hanya karena kecantikannya, tetapi karena caranya membawa diri, bagaimana Sari tampak begitu tenang meski dunia di sekitarnya kacau. Andi tidak tahu kenapa, tapi ia merasa ingin tahu lebih banyak tentang wanita ini. Namun di sisi lain, perbedaan status mereka terasa jelas, seperti jurang yang tak terjembatani. Andi hanyalah seorang pengemudi ojek, sementara Sari tampak seperti wanita karier yang sukses. Dunia mereka terlalu jauh berbeda.

Andi menarik napas panjang, mencoba menepis pikiran-pikiran yang tak seharusnya ada. "Jangan ngimpi, Di," gumamnya dalam hati, sambil mempercepat laju motornya. Meskipun begitu, hatinya tetap berdebar setiap kali melihat bayangan Sari di kaca spion.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di tempat tujuan. Gedung perkantoran tinggi lainnya berdiri di hadapan mereka, sama megahnya dengan gedung tempat Sari bekerja. Andi memarkir motornya di tepi jalan, berhati-hati agar tidak terlalu dekat dengan kendaraan lain. Sari turun dengan anggun, lalu membuka tas kecilnya.

"Berapa, mas?" tanya Sari sambil memandang Andi.

Andi merasakan tenggorokannya mengering. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun hanya kata-kata biasa yang keluar. "Sudah di aplikasi, Mbak," jawabnya cepat, mencoba terdengar normal.

Sari tersenyum, menyimpan kembali dompetnya. "Oh iya, benar juga. Terima kasih, ya, Mas Andi."

Andi hanya mengangguk, merasa ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun lidahnya kelu. Sari melangkah menjauh, namun bayangannya tetap tinggal di benak Andi. Ia melihat punggung wanita itu yang perlahan menghilang di antara kerumunan orang yang lalu lalang, merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting.

Dalam hati, Andi tahu perasaannya tidak boleh ada. Sari bukanlah wanita yang bisa ia gapai. Namun, meskipun begitu, ada sebuah rasa yang mulai tumbuh tanpa ia sadari. Mungkin ini hanya kekaguman sesaat, mungkin juga lebih dari itu. Tapi satu hal yang Andi tahu pasti, hidupnya tidak lagi sama sejak pertemuan ini.

Andi kembali menyalakan motornya dan melaju di jalanan yang semakin padat. Namun, kali ini, pikiran dan hatinya tertinggal di belakang, bersama dengan wanita yang bahkan tidak tahu bahwa ia telah menyentuh sesuatu yang dalam di dalam diri Andi.

Takdir di Jalanan KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang