Hari-hari setelah melihat Sari bersama pria lain terasa seperti mimpi buruk yang berulang bagi Andi. Setiap kali ia memikirkan momen itu, rasa sakit kembali menyergap hatinya. Ia tahu bahwa ia tak seharusnya berharap lebih, namun perasaannya pada Sari telah tumbuh terlalu dalam. Setiap detik yang dihabiskannya bersama Sari kini terasa lebih seperti siksaan daripada kebahagiaan.
Malam itu, Andi kembali mengantarkan Sari pulang dari kantor. Mereka tidak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Ada keheningan di antara mereka yang tak biasa, seolah-olah masing-masing sedang sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Ketika mereka sampai di apartemen Sari, wanita itu turun dari motor dan tersenyum lelah.
“Terima kasih, Andi,” ucap Sari sambil melambaikan tangan sebelum berjalan menuju pintu masuk.
Andi hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. “Apakah dia tahu bagaimana perasaanku?” pikirnya. Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, namun ia terlalu takut untuk mencari jawabannya. Ia tahu bahwa jika ia mengungkapkan perasaannya, hal itu mungkin akan merusak hubungan mereka selamanya.
Setelah kejadian itu, Andi merasa butuh seseorang untuk berbicara. Dia pun bertemu dengan sahabat lamanya, Bayu, di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan. Bayu adalah teman dekat Andi sejak sekolah, seseorang yang selalu bisa Andi andalkan dalam setiap situasi.
“Lu kenapa, Di? Mukanya kayak orang yang baru ditolak cewek,” canda Bayu sambil menyodorkan secangkir kopi panas ke arah Andi.
Andi tertawa kecil, namun tawa itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Gue bingung, Yu. Gue suka sama cewek, tapi kayaknya dia nggak mungkin ngerasain hal yang sama ke gue.”
Bayu mengangguk, wajahnya kini berubah serius. “Cewek mana sih? Kok tiba-tiba lu ngomong kayak gini?”
Andi menghela napas panjang. “Sari. Gue suka dia, tapi dia kayaknya nggak lihat gue lebih dari sekadar temen atau ojek online yang selalu nganterin dia.”
Bayu terdiam sejenak, mencerna kata-kata Andi. “Di, gue ngerti lu suka sama dia. Tapi lu juga harus sadar, kadang-kadang cinta nggak selalu harus dibalas. Mungkin dia punya perasaan lain, atau mungkin... hidup kalian emang di jalur yang beda.”
Kata-kata Bayu menampar Andi, namun ia tahu bahwa sahabatnya itu benar. Meski berat, Andi harus menerima kenyataan bahwa tidak semua cinta bisa menemukan jalannya.
Setelah pertemuannya dengan Bayu, Andi mulai berusaha untuk menjaga jarak dari Sari. Ia menyadari bahwa semakin ia dekat dengan wanita itu, semakin besar rasa sakit yang harus ia tanggung. Namun, meskipun ia berusaha, takdir seolah terus mempertemukan mereka.
Suatu malam, Andi mendapat pesanan dari Sari lagi. Kali ini berbeda—Sari meminta Andi untuk menjemputnya dari sebuah kafe, bukan dari kantornya seperti biasa. Ketika Andi tiba, ia melihat Sari duduk sendirian di sebuah meja, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong.
“Mbak Sari, udah nunggu lama?” tanya Andi sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya.
Sari tersenyum tipis, namun senyuman itu tak sampai ke matanya. “Nggak, kok. Aku Cuma lagi mikir.”
Mereka pun berjalan menuju motor Andi. Di sepanjang perjalanan pulang, Sari tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. “Andi, kamu pernah nggak sih ngerasa... ada hal-hal dalam hidup yang nggak bisa kita kontrol, tapi kita tetap berharap bisa ngubahnya?”
Pertanyaan itu menusuk Andi. Ia tahu persis bagaimana rasanya. “Iya, Mbak. Kadang kita pengen ngubah sesuatu, tapi kenyataan nggak selalu sesuai sama yang kita harapin.”
Sari hanya terdiam setelah mendengar jawaban Andi, namun ada keheningan yang terasa berat di antara mereka. Sesampainya di apartemen, Sari turun dari motor tanpa banyak bicara. Andi tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sari, tapi ia tak tahu apa itu.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Andi kembali bertemu dengan Bayu di warung kopi yang sama. Kali ini, Andi merasa lebih tenang, meski perasaan itu masih mengganjal di hatinya.
“Gue ketemu Sari lagi, Yu. Tapi rasanya beda,” kata Andi sambil mengaduk kopinya.
“Beda gimana?” tanya Bayu, penasaran.
“Dia kayaknya lagi ada masalah, tapi gue nggak tau apa. Dia nggak cerita banyak, Cuma... gue ngerasa dia mulai ngasih tanda-tanda kalau hubungan ini nggak akan pernah lebih dari sekadar temenan.”
Bayu menepuk pundak Andi, mencoba memberikan dukungan. “Mungkin emang udah waktunya lu berhenti berharap, Di. Kadang, melepaskan itu bukan berarti kalah. Tapi justru bikin kita lebih kuat.”
Kata-kata Bayu lagi-lagi memberikan Andi kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Ia tahu bahwa ia harus merelakan perasaannya pada Sari, meski itu bukan hal yang mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir di Jalanan Kota
General FictionAndi, seorang pengemudi ojek online di kota besar, diam-diam menaruh hati pada Sari, seorang wanita karier yang sukses. Meskipun mereka sering bertemu karena Andi menjadi langganan tetapnya, cinta Andi hanya terpendam dalam diam. Perbedaan status so...