Setelah pembicaraan dengan Bayu, Andi merasa lebih mantap dalam mengambil keputusan untuk mulai menjauh dari Sari. Meskipun hatinya masih terbelenggu perasaan yang belum terungkap, ia sadar bahwa ia tidak bisa terus berada di dalam bayangan harapan yang tidak pasti. Namun, tidak semudah itu melepaskan perasaan yang sudah tertanam begitu dalam.
Hari itu, Andi memutuskan untuk menjalani hari seperti biasa, tanpa mengharapkan pesan dari Sari. Tetapi, ketika layar ponselnya menyala, notifikasi dari aplikasi ojek online membuat jantungnya berdegup cepat. Pesanan dari Sari. Andi terdiam sejenak, mencoba memutuskan apakah ia harus menerima atau melewatkannya. Namun, nalurinya yang sudah terbiasa tidak bisa diabaikan. Ia menerima pesanan itu.
Ketika Andi tiba di depan kantor Sari, wanita itu sudah menunggunya dengan wajah yang tampak lebih muram dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, Sari selalu tersenyum meski hanya tipis. Tapi kali ini, senyum itu tidak muncul sama sekali.
“Mbak Sari, mau ke mana?” tanya Andi, berusaha menjaga nada suaranya tetap santai.
Sari hanya menjawab singkat, “Antar aku pulang, Andi.”
Dalam perjalanan, keheningan di antara mereka terasa lebih berat daripada sebelumnya. Hanya suara kendaraan dan deru angin yang mengisi suasana. Namun, tiba-tiba Sari mulai berbicara, suaranya terdengar rendah dan lirih.
“Andi, aku mau cerita sesuatu.”
Andi mendengar nada berbeda dalam suara Sari. Ini bukan percakapan ringan seperti biasanya. Ada sesuatu yang berat di balik kata-kata itu. Ia hanya mengangguk, memberi isyarat agar Sari melanjutkan.
“Aku mau pindah kerja. Ke luar kota.” Suara Sari terdengar datar, namun Andi bisa merasakan betapa sulit keputusan itu baginya.
Jantung Andi seakan berhenti sesaat. “Ke luar kota? Ke mana, Mbak?” tanyanya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Surabaya. Aku dapat tawaran kerja di sana, posisi yang lebih tinggi. Tapi... aku belum yakin.”
Andi terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Selama ini, meskipun hubungan mereka tidak pernah lebih dari sekadar pengemudi dan penumpang, Andi selalu merasa ada harapan, meski hanya sekecil apapun. Tapi dengan kabar ini, harapan itu seolah runtuh. Jika Sari benar-benar pindah, hubungan yang sudah rapuh ini akan hilang begitu saja.
“Itu bagus, Mbak. Kesempatan bagus,” kata Andi, meski hatinya terasa sesak.
Sari hanya terdiam, menatap ke jalan di depannya. “Tapi, aku juga nggak tahu. Meninggalkan semua yang ada di sini nggak mudah. Kamu ngerti maksudku, kan?”
Beberapa hari kemudian, Sari menelepon Andi. Suara di telepon terdengar lebih tegas, seperti seseorang yang sudah membuat keputusan besar.
“Andi, besok aku berangkat. Bisa nggak antar aku ke bandara?”
Andi terdiam sejenak sebelum menjawab. “Tentu, Mbak. Aku siap.”
Keesokan paginya, Andi menjemput Sari di apartemennya untuk terakhir kalinya. Kali ini, suasananya terasa lebih sendu. Meskipun cuaca cerah, perasaan Andi diliputi awan gelap. Saat mereka tiba di bandara, Andi membantu Sari membawa kopernya, dan mereka berjalan menuju terminal keberangkatan.
Di depan pintu masuk, Sari berhenti dan menatap Andi dengan mata yang dipenuhi emosi. “Terima kasih, Andi. Kamu udah banyak bantu aku selama ini.”
Andi hanya tersenyum kecil. “Itu tugas aku, Mbak. Yang penting Mbak Sari bahagia.”
Namun, di balik senyumnya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Andi tahu bahwa ini adalah akhir dari sesuatu yang tak pernah benar-benar dimulai. “Selamat jalan, Mbak. Semoga sukses di sana,” katanya, suaranya serak menahan emosi.
Sari tersenyum lembut, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan masuk ke terminal. Andi menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kehilangan.
Ketika Andi meninggalkan bandara, hatinya terasa kosong. Ia berkendara tanpa tujuan, melewati jalan-jalan kota yang sudah begitu dikenalnya, namun kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi harapan untuk melihat Sari duduk di belakang motornya, tidak ada lagi percakapan ringan di sepanjang perjalanan. Semua itu telah berlalu, meninggalkan ruang kosong yang hanya diisi oleh kenangan.
Andi menyadari bahwa inilah saatnya untuk benar-benar melepaskan. Ia harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk terjadi. Meskipun perasaannya pada Sari masih ada, Andi tahu bahwa hidup harus terus berjalan.
Saat malam tiba, Andi duduk di teras rumah kontrakannya yang sederhana, memandang langit yang gelap tanpa bintang. Ia menghela napas panjang, membiarkan angin malam menyapu rasa sakit yang masih tersisa.
“Mungkin bener kata orang,” gumam Andi pelan. “Jodoh itu udah ada yang ngatur. Kalau bukan sekarang, mungkin nanti.”
Dengan itu, Andi mulai menerima bahwa tidak semua cinta harus berakhir dengan kebersamaan. Terkadang, cinta juga berarti melepaskan, membiarkan orang yang kita cintai menemukan kebahagiaannya sendiri, meski itu berarti tanpa kita di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir di Jalanan Kota
General FictionAndi, seorang pengemudi ojek online di kota besar, diam-diam menaruh hati pada Sari, seorang wanita karier yang sukses. Meskipun mereka sering bertemu karena Andi menjadi langganan tetapnya, cinta Andi hanya terpendam dalam diam. Perbedaan status so...