Angan yang Tinggi

9 0 0
                                    

Hari sudah berganti malam ketika Andi kembali ke rumah kos kecilnya. Lampu neon berkedip-kedip di depan gang sempit, memberi suasana temaram di antara deretan rumah-rumah tua yang berdempetan. Kos sederhana itu berada di kawasan pinggir kota yang jauh dari hiruk-pikuk pusat bisnis. Suara kendaraan mulai berkurang, digantikan oleh suara televisi dari rumah-rumah tetangga dan obrolan ringan anak-anak muda yang nongkrong di pinggir jalan.

Andi memarkir motornya di garasi kecil di depan kos. Dengan langkah lelah, ia membuka helmnya dan mengelap keringat yang membasahi dahinya. Sehari penuh berkendara di jalanan kota membuat tubuhnya penat. Namun kali ini, ada sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya. Bayangan Sari terus terlintas, membuatnya sulit fokus bahkan saat melakukan hal-hal kecil seperti membuka pintu kos.

Kamar Andi kecil, hanya cukup untuk satu tempat tidur, lemari pakaian yang sudah tua, dan meja kecil yang di atasnya berserakan barang-barang pribadi. Ia menyalakan kipas angin, berharap angin sejuk bisa sedikit menghilangkan rasa penatnya. Setelah melepaskan jaket ojek online yang sudah lusuh, Andi merebahkan diri di kasur tipisnya, menatap langit-langit yang seakan bergerak pelan seiring hembusan angin dari kipas.

“Sari...” nama itu berputar di kepalanya, terus-menerus. Pertemuan mereka hanya singkat, namun meninggalkan kesan yang begitu dalam. Ia teringat senyum Sari, suaranya yang lembut, dan cara wanita itu membawa diri dengan penuh percaya diri. “Dia beda,” batinnya. Sari bukan sekadar penumpang biasa, dan Andi tahu perasaan ini mulai tumbuh di dalam hatinya, meski ia tak ingin mengakuinya.

Keesokan harinya, Andi bangun pagi seperti biasa. Pagi di kos-kosan tidak jauh berbeda dari hari ke hari. Suara burung gereja yang berkicau di atas atap, bunyi sepeda motor tua yang dihidupkan oleh tetangganya, serta aroma masakan ibu kos yang mulai menyiapkan sarapan untuk penghuni kos lainnya.

Andi menatap ponselnya sejenak. Tak ada pesan dari siapa pun selain notifikasi aplikasi ojek yang menunggu untuk diaktifkan. Hari ini mungkin akan seperti hari-hari sebelumnya—panas, macet, dan penuh tantangan. Namun, di balik semua itu, ada harapan kecil yang mulai muncul, sebuah harapan yang ia sendiri tak yakin bisa ia kejar. Harapan akan bisa bertemu Sari lagi.

Setelah mandi cepat dan berpakaian, Andi keluar dari kamar kos. Ia mengenakan jaket ojek dan helmnya, bersiap memulai hari yang panjang. Di jalanan, Andi berbaur dengan ratusan pengemudi ojek lain yang sama-sama berjuang mencari nafkah. Setiap hari terasa seperti perlombaan—siapa yang lebih cepat mendapat penumpang, siapa yang bisa menyelesaikan lebih banyak perjalanan.

Namun, meskipun ia telah terbiasa dengan kerasnya kehidupan di jalan, Andi masih merasa ada sesuatu yang kosong. Ia tidak hanya mengemudi demi uang, ada perasaan terjebak dalam rutinitas yang monoton, tanpa tujuan yang jelas selain untuk bertahan hidup. Dan di tengah kebosanan itu, ingatan tentang Sari seperti memberi sedikit warna pada dunianya yang kelabu.

Setelah menyelesaikan beberapa perjalanan, Andi memutuskan untuk berhenti sejenak di warung kopi kecil di pinggir jalan. Warung itu sudah menjadi tempat favoritnya untuk istirahat. Dengan dinding bambu dan atap seng, warung itu memberikan kesan sederhana namun hangat, seperti pelarian sementara dari kerasnya jalanan.

Andi duduk di bangku kayu sambil memesan segelas kopi hitam. Sambil menunggu, ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi ojek. Tidak ada pesanan yang masuk. Namun, pikirannya bukan pada pekerjaannya. Ia membuka galeri ponselnya, mencari-cari sesuatu yang tak jelas, lalu berhenti di foto-foto lama—wajah-wajah penumpang yang pernah ia antar, jalanan yang pernah ia lalui, dan momen-momen kecil yang terekam selama bekerja.

Ia teringat lagi pada Sari, bagaimana wanita itu tampak begitu berbeda dari orang-orang lain yang ia temui. “Kenapa gue terus mikirin dia, ya?” gumam Andi pada dirinya sendiri. Ia tahu, perasaan ini mungkin hanya akan membuatnya terluka. Sari adalah sosok yang jauh dari jangkauannya—seorang wanita karier sukses yang hidup di dunia yang berbeda dari dirinya.

Tapi semakin ia mencoba mengusir perasaan itu, semakin kuat ia merasakannya. Andi menatap cangkir kopinya, mengaduk perlahan, sementara bayangan Sari terus bermain di benaknya. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai dari pertemuan mereka. Ia ingin tahu lebih banyak tentang wanita itu, tapi ia sadar betapa kecil kemungkinannya untuk bisa mendekat. “Dia terlalu jauh, Di,” katanya dalam hati, mencoba realistis.

Beberapa pengemudi ojek lain yang sering mangkal di tempat yang sama mulai datang. Salah satunya adalah Rudi, teman Andi yang juga sudah lama bekerja sebagai ojek online. Rudi adalah tipe orang yang selalu optimis, meskipun penghasilannya kadang tidak seberapa. Mereka sering berbagi cerita tentang penumpang, cuaca, dan segala hal yang terjadi di jalanan.

“Di, gimana hari ini? Lancar?” tanya Rudi sambil menyeruput kopi di depannya.

“Ya begitulah, Rud. Sama aja kayak kemarin. Macet, panas, dapet penumpang sih lumayan,” jawab Andi sambil tersenyum tipis.

“Yah, yang penting masih ada rejeki. Bener gak?” balas Rudi sambil tertawa kecil. “Eh, gue ada cerita nih. Tadi dapet penumpang cakep banget! Tapi sayangnya buru-buru, gak sempet kenalan.” Rudi terkekeh, matanya berbinar penuh semangat.

Andi hanya tersenyum tipis, tapi pikirannya langsung kembali ke Sari. “Gue juga dapet penumpang cakep kemarin,” pikirnya, tapi ia memilih untuk tidak bercerita. Perasaan yang ia rasakan terlalu pribadi untuk dibagi dengan orang lain, bahkan dengan Rudi sekalipun.

Setelah beberapa saat, Andi dan Rudi kembali ke jalan, melanjutkan pencarian penumpang. Namun, sepanjang hari itu, bayangan Sari terus menghantui pikiran Andi. Setiap kali ia melewati gedung-gedung perkantoran, ia berharap bisa melihat Sari lagi, meskipun tahu harapan itu mungkin terlalu tinggi.

Takdir di Jalanan KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang