Waktu berlalu, namun setiap hari terasa sama bagi Andi. Hari-harinya penuh dengan perjalanan, membawa penumpang dari satu sudut kota ke sudut lainnya. Namun, sejak pertemuannya kembali dengan Sari, ada sesuatu yang berubah. Setiap kali notifikasi pesanan muncul, Andi selalu berharap nama yang muncul di layar adalah Sari. Dan ketika harapan itu terwujud, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan yang memenuhi dadanya—kebahagiaan bercampur dengan kecemasan.
Pada hari itu, seperti biasanya, Andi mengantar Sari pulang dari kantornya. Jalanan Jakarta yang penuh sesak dengan kendaraan seolah menjadi latar belakang perasaan Andi yang semakin rumit. Di sepanjang perjalanan, Andi berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Angin yang berhembus membawa aroma parfum Sari yang familiar, memunculkan kenangan-kenangan singkat yang terus menghantui Andi setiap kali mereka bersama.
“Di, kamu pernah ngerasa bingung nggak sih soal hidup?” Sari tiba-tiba bertanya, memecah kesunyian di antara suara deru kendaraan.
Andi terdiam sejenak, mencoba memahami maksud pertanyaan itu. “Kadang sih, Mbak. Hidup emang sering bikin bingung,” jawab Andi, matanya tetap fokus pada jalan di depannya, meskipun pikirannya melayang.
Sari tersenyum samar. “Aku sering ngerasa gitu akhir-akhir ini. Kayak... aku kerja keras, tapi kadang aku lupa apa yang sebenarnya aku cari. Kamu ngerti maksudku, kan?”
Andi tidak menjawab segera. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Sari. Mungkin itu adalah kegelisahan yang selama ini ia simpan. “Iya, Mbak. Kadang kita terlalu sibuk sampai lupa tujuan kita apa. Aku juga gitu, sering ngerasa hidup kayak berjalan aja tanpa arah.”
Mereka berhenti di lampu merah, dan sejenak Andi mencuri pandang ke arah Sari melalui kaca spion. Wanita itu terlihat menatap jauh keluar jendela, ekspresinya tak terbaca.
“Apa yang sebenarnya dicari orang kayak Sari?” Andi bertanya-tanya dalam hati. Wanita sukses yang selalu terlihat memiliki segalanya. Tapi ada sesuatu yang tampaknya hilang dari hidupnya—sesuatu yang Sari sendiri mungkin belum menyadari.
Beberapa hari kemudian, Sari mengajak Andi bertemu di tempat yang berbeda. Kali ini bukan sekadar mengantarkan pulang, tetapi Sari mengundang Andi untuk ikut makan malam bersamanya di sebuah restoran kecil yang terletak agak jauh dari hiruk-pikuk pusat kota. Restoran itu memiliki suasana tenang dengan lampu-lampu temaram yang memberikan kesan hangat dan intim.
Saat mereka duduk di meja sudut, suasana antara Andi dan Sari terasa lebih santai dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya. Meskipun Andi masih merasa canggung, dia mulai terbiasa dengan kehadiran Sari di hidupnya. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang pekerjaan, tentang kehidupan sehari-hari, hingga hal-hal kecil yang mungkin tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya.
“Kamu suka makanan ini?” tanya Sari sambil menyuapkan sepotong kecil ke mulutnya.
Andi mengangguk, meski dalam hatinya ia lebih sibuk memikirkan bagaimana ia harus bersikap. “Iya, enak juga. Aku jarang makan di tempat kayak gini sih.”
Sari tertawa kecil, suaranya lembut tapi penuh makna. “Harusnya kita lebih sering kayak gini. Aku suka ngobrol sama kamu, Andi. Kamu orang yang enak diajak ngobrol.”
Andi merasa jantungnya berdegup kencang mendengar pujian itu. Meski Sari mungkin hanya berbicara dengan santai, bagi Andi, setiap kata yang keluar dari mulut wanita itu seperti memiliki arti lebih. Setiap kali Sari tersenyum atau menatapnya dengan tatapan hangat, Andi merasa ada jarak yang tak terlihat namun terus tumbuh di antara mereka.
Di balik kebahagiaan yang Andi rasakan setiap kali bersama Sari, ada perasaan yang semakin sulit diabaikan. Malam itu, setelah mengantar Sari pulang, Andi berhenti sejenak di pinggir jalan. Ia mematikan mesin motornya dan menatap ke arah langit malam yang gelap. Bintang-bintang bersinar di kejauhan, namun terasa begitu jauh, seperti mimpi-mimpi yang tak terjangkau.
“Kenapa aku kayak gini?” Andi bergumam pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perasaannya pada Sari semakin tumbuh, tapi ia juga tahu bahwa jarak di antara mereka terlalu besar. Sari adalah wanita yang berada di dunia yang berbeda—dunia di mana kesuksesan, prestasi, dan kemewahan adalah hal yang biasa. Sementara dirinya hanyalah seorang pengemudi ojek yang hidup dari satu pesanan ke pesanan lainnya.
“Aku nggak bisa terus kayak gini,” Andi berkata dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi kenyataannya, semakin ia mencoba menekan perasaannya, semakin besar rasa itu tumbuh di dalam hatinya.
Beberapa hari kemudian, saat Andi sedang menunggu penumpang di sebuah jalanan yang ramai, ia melihat Sari bersama seorang pria. Pria itu tampak rapi dengan setelan jas mahal dan sepatu kulit mengkilap. Mereka tampak sedang berbicara serius di depan sebuah kafe. Dari kejauhan, Andi bisa melihat senyuman di wajah Sari, namun kali ini senyuman itu bukan untuknya. Pria itu meraih tangan Sari, dan meskipun Andi tidak tahu apa yang sedang terjadi, pemandangan itu sudah cukup membuat hatinya tenggelam.
Andi merasakan sesak di dadanya, seolah-olah seluruh harapannya runtuh dalam sekejap. Ia tahu bahwa ia tak seharusnya merasa cemburu, karena ia dan Sari tidak pernah memiliki hubungan yang lebih dari sekadar pengemudi dan penumpang. Namun, perasaan itu tak bisa ia hilangkan. Setiap kali ia melihat Sari, hatinya selalu berharap lebih, meski ia tahu bahwa harapan itu mungkin tidak akan pernah terwujud.
Ketika Sari dan pria itu masuk ke dalam kafe, Andi menyalakan kembali motornya dan pergi tanpa menoleh ke belakang. Hatinya hancur, namun ia tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir di Jalanan Kota
Ficção GeralAndi, seorang pengemudi ojek online di kota besar, diam-diam menaruh hati pada Sari, seorang wanita karier yang sukses. Meskipun mereka sering bertemu karena Andi menjadi langganan tetapnya, cinta Andi hanya terpendam dalam diam. Perbedaan status so...