7

110 15 0
                                    

Hari itu, suasana rumah keluarga Halilintar begitu hening dan penuh konsentrasi. Di ruang keluarga, keenam saudara Halilintar-Taufan, Solar, Blaze, Thorn, Gempa, dan Ice-duduk rapi di meja besar, tenggelam dalam tumpukan buku pelajaran. Aisyah, ibu mereka, dengan sabar mengawasi mereka sambil sesekali membantu menjawab pertanyaan yang sulit. Di sisi lain, Amato juga terlihat sibuk membimbing mereka, menjelaskan materi pelajaran dengan teliti. Tentu saja mereka melakukan ini kerana tidak lama lagi ujian pertengahan tahun akan diadakan di sekolah.

Di sudut yang jauh dari mereka, Halilintar duduk sendirian di meja terpisah, tak jauh dari mereka. Dia berusaha keras memahami buku yang ada di hadapannya, tetapi beberapa soal terasa sulit baginya. Setiap kali dia melirik ke arah Amato, hatinya terasa berat. Dia ingin sekali meminta bantuan ayahnya, namun sudah berkali-kali percobaan namun berakhir dengan penolakan.

Melihat kakaknya sendirian, Taufan mendekat dan berbisik.

"Kak, kalau kamu kesulitan, mungkin kamu bisa tanya Ayah. Tadi dia bantu aku memahami soal matematika, dan aku jadi ngerti banget."

"Aku udah coba, Taufan, tapi kamu tahu kan, Ayah selalu nolak kalau aku minta tolong..." Ucap Halilintar sambil tersenyum.

Solar yang mendengar percakapan mereka, berbisik pula "Coba lagi, Kak. Siapa tahu kali ini Ayah berubah pikiran."

Halilintar merasakan dorongan dari adik-adiknya, dan dengan hati yang ragu, ia berjalan mendekati Amato yang sedang duduk bersama Thorn dan Blaze. Sambil menggenggam buku di tangannya, Halilintar mengumpulkan keberanian untuk bicara.

"Ayah... maaf mengganggu, tapi bolehkah aku minta bantuan untuk soal ini? Aku agak kesulitan."

Amato menatap Halilintar dengan tatapan dingin, membuat Halilintar merasa semakin kecil.

"Belajar sendiri, Halilintar. Kamu bukan anak kecil lagi. Aku sudah cukup sibuk dengan adik-adikmu."

Halilintar terdiam sejenak, lalu mencoba meyakinkan Ayahnya "Tapi, Ayah... soal ini sulit sekali. Aku butuh penjelasan dari Ayah."

Aisyah, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, langsung menghampiri mereka.

"Amato, Halilintar juga anakmu. Dia berhak mendapatkan bantuan yang sama."

Amato menghela napas dengan enggan "Aisyah, Halilintar sudah cukup besar untuk belajar mandiri. Tidak perlu terus bergantung pada kita."

"Amato, semua anak butuh bantuan, tidak peduli berapa pun usianya. Aku mohon, bantu Halilintar."

Amato terdiam sejenak, tampak berjuang antara perasaan enggan dan tuntutan istrinya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia akhirnya menyerah pada kehendak isterinya, meskipun dengan wajah yang tetap menunjukkan ketidaksenangan.

"Baiklah, Halilintar. Bawa bukumu ke sini."

Halilintar menahan senyum kecilnya, merasa lega meskipun suasana tetap canggung. Dia duduk di sebelah Amato dan membuka soal yang sulit baginya.

"Ini, Ayah. Aku belum paham cara menyelesaikannya."

Amato mulai menjelaskan dengan nada suara yang dingin dan tajam daripada biasanya. Setiap kali Halilintar tampak ragu atau lambat memahami, Amato menghela napas dengan kesal, membuat Halilintar semakin gugup.

"Apa kamu tidak bisa berpikir lebih cepat? Ini soal dasar! Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti?" Ucap Amato dengan tajam.

Halilintar terdiam "Maaf, Ayah... aku hanya... aku butuh waktu sedikit lebih banyak."

Amato langsung menyentuh cambuk kecil yang ia bawa, seolah mengancam. Namun, Halilintar mencoba tetap tenang, berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutan di wajahnya.

SISA HUJAN LUKA [on going]Where stories live. Discover now