Part 2

447 39 0
                                    

Pagi di Jakarta datang dengan hiruk-pikuk dan kebisingan yang khas. Namun di apartemen mewah milik Shireen, suasananya terasa sunyi. Matahari yang masuk melalui jendela besar menerangi ruangan, tetapi di antara mereka berdua, dingin masih terasa dari malam sebelumnya. Gracia duduk di meja dapur, mencoba sarapan dengan pikiran yang melayang, sementara Shireen sibuk di teleponnya, mengurus masalah kantor tanpa memperhatikan kekasihnya.

“Jadi, gimana dengan rencana makan malamku nanti?” Gracia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Dia tahu risikonya, tapi dia tak bisa terus diam. Rencana makan malam dengan teman-temannya sudah direncanakan berbulan-bulan, dan dia merasa butuh waktu untuk bersosialisasi di luar bayang-bayang Shireen.

Shireen meletakkan teleponnya perlahan. Tatapan matanya tajam, tak menunjukkan sedikitpun tanda persetujuan. “Aku udah bilang kemarin, kan? Aku nggak suka kamu keluar sendirian.”

Gracia menelan ludah. “Aku nggak sendirian, Shireen. Ada temanku, dan—”

“Siapa temannya?” potong Shireen dengan nada yang rendah namun berbahaya. “Laki-laki atau perempuan?”

“Shireen, aku cuma mau menghabiskan waktu dengan mereka. Mereka teman lamaku, kamu kenal beberapa di antaranya,” Gracia mencoba menjelaskan dengan lembut, berharap bisa menenangkan kekasihnya.

Shireen menghela napas panjang, matanya menatap Gracia seolah menilai sesuatu. “Aku nggak suka kalau kamu pergi tanpa aku. Kamu tahu dunia di luar itu keras. Banyak orang yang ingin memanfaatkanku memanfaatkanmu. Aku hanya ingin melindungimu.”

Gracia tersenyum pahit. “Tapi kadang-kadang aku merasa seperti... aku terpenjara.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat suasana semakin tegang. Shireen berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Gracia. Dengan tatapan yang intens, dia menunduk dan berbicara pelan namun penuh tekanan. “Aku melakukan semua ini demi kita. Kamu tahu itu. Jangan buat aku kehilangan kepercayaan padamu.”

Gracia terdiam. Kata-kata Shireen selalu seperti jerat yang halus namun kuat, membelitnya hingga dia tak bisa melawan. Meski begitu, ada perasaan resah di dalam dirinya yang semakin sulit untuk ditepis. Cinta Shireen terasa berat, terlalu mendominasi, dan semakin hari, Gracia merasa tenggelam dalam ketidakberdayaan.

***

Malam itu, meski dengan perasaan berat, Gracia tetap memutuskan untuk pergi ke acara makan malam bersama teman-temannya. Dia tahu Shireen tidak akan menyetujuinya, tapi dia merasa perlu melakukan ini untuk dirinya sendiri. Di restoran kecil yang hangat dan ramai, Gracia akhirnya bisa sedikit tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Namun, meski dia mencoba menikmati suasana, rasa was-was tetap tak bisa hilang. Setiap kali teleponnya berbunyi, dia merasa cemas, khawatir itu adalah pesan dari Shireen.

Salah satu temannya, greesel, memperhatikan perubahan pada Gracia. “Kamu baik-baik aja, Gre? Kamu terlihat agak tegang.”

Gracia tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja. Cuma... banyak pikiran belakangan ini.”

“Kamu masih sama Shireen, kan?” tanya greesel, sedikit waspada. Teman-temannya tahu bagaimana hubungan Gracia dengan Shireen, dan beberapa dari mereka sudah memberi isyarat bahwa hubungan itu mungkin tidak sehat.

Gracia mengangguk pelan. “Iya, masih. Dia orangnya... kompleks.”

Greesel tersenyum getir. “Kompleks atau posesif?”

Gracia tersentak mendengar kata itu. Posesif. Itu adalah kata yang selama ini enggan dia akui, tapi di lubuk hatinya, dia tahu itu benar. Shireen sangat mengontrol hidupnya. Meskipun ada cinta, ada pula rasa takut dan tekanan yang tak bisa diabaikan.

Percakapan mereka terpotong ketika telepon Gracia berdering. Nama *Shireen* muncul di layar, membuat perut Gracia langsung mual. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkatnya.

“Di mana kamu?” suara Shireen terdengar di ujung telepon, tenang tapi penuh ketegangan.

“Aku sedang di restoran dengan teman-teman, seperti yang aku bilang,” jawab Gracia sambil menahan gemetar di suaranya.

“Aku ingin kamu pulang sekarang.” Suara Shireen terdengar mutlak, seperti perintah yang tidak bisa dibantah.

“Tapi Shireen, baru sebentar aku di sini…”

“Aku bilang pulang. Sekarang.” Suara Shireen semakin dingin. “Jangan buat aku marah.”

Gracia merasa dadanya sesak. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia melawan. Shireen tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Dengan perasaan berat, dia menutup telepon dan menatap teman-temannya dengan senyum yang dipaksakan.

“Aku harus pulang.”

Greesel menatapnya dengan prihatin. “Gre, kamu nggak bisa terus seperti ini. Ini bukan cinta yang sehat.”

Gracia mengangguk, tapi di dalam hatinya dia bingung. Apa yang dia hadapi dengan Shireen bukanlah sesuatu yang mudah diputuskan. Cinta dan ketergantungan membuatnya merasa terikat, tetapi pada saat yang sama, dia tahu bahwa hubungannya sedang berada di jalur yang berbahaya.

***

Sesampainya di apartemen, Shireen sudah menunggu di ruang tamu, duduk dengan tenang. Tapi ketenangan itu hanya kulit luar; ada api kemarahan yang tampak membara di balik tatapan matanya.

“Kamu nggak bisa keluar tanpa seizin aku, Gracia. Aku udah bilang berkali-kali, aku nggak akan toleransi hal seperti ini.”

“Aku cuma mau sedikit kebebasan, Shireen. Apakah itu salah?” Gracia mencoba menahan air matanya.

“Kebebasan?” Shireen mendekat, berbicara pelan namun penuh amarah. “Kamu punya semua yang kamu butuhkan di sini. Kamu nggak butuh lebih dari ini. Aku yang memutuskan apa yang terbaik buat kamu.”

Gracia terdiam, merasa semakin terperangkap. Cinta Shireen tidak lagi terasa indah,itu telah berubah menjadi belenggu yang mengunci setiap kebebasan yang dia miliki.

Obsess with you_(Greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang