Part 5

454 44 1
                                    

Pagi ini, Gracia bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat, kantung hitam jelas di bawah matanya, akibat malam tanpa tidur yang dihabiskannya memikirkan masa depannya dengan Shireen. Di kamar, cahaya matahari samar-samar menembus tirai, memberikan ketenangan singkat yang segera dipecahkan oleh ketegangan yang masih menyelimuti apartemen.

Shireen masih tidur di sebelahnya, napasnya tenang seolah malam kemarahan itu tak pernah terjadi. Tapi bagi Gracia, malam itu membekas dalam. Ketakutan yang sebelumnya hanya dirasakan dalam hati kini mulai berubah menjadi kepastian hubungan ini tak bisa terus berlanjut jika Shireen tak berubah.

Gracia bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Shireen. Dia melangkah keluar kamar, berjalan ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Dia duduk di meja makan dengan ponselnya di tangan, membuka pesan-pesan dari teman-temannya yang kemarin malam dia abaikan. Salah satunya dari Diana.

"Gre, kamu baik-baik aja? Aku khawatir setelah kamu pulang tadi malam. Kalau butuh tempat untuk bicara, hubungi aku, oke?"

Gracia menatap pesan itu lama, jari-jarinya melayang di atas layar. Hatinya tergerak untuk menceritakan semua yang terjadi, tapi sesuatu di dalam dirinya menahan. Mungkin karena selama ini dia terbiasa menutup diri dari orang lain, berusaha mempertahankan citra hubungan yang sempurna di depan mereka. Tapi sekarang, Gracia tahu bahwa menutup diri tak lagi bisa menjadi solusi. Dia butuh bantuan, dia butuh dukungan. Namun, keberanian untuk mengambil langkah pertama itu masih sulit diraih.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari kamar. Shireen keluar dengan wajah lelah, rambutnya acak-acakan. Dia menatap Gracia di meja dapur, lalu berjalan pelan menuju arah yang sama.

Pagi itu penuh dengan ketegangan yang sunyi, tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka. Shireen duduk di seberang meja, menatap Gracia yang sibuk mengaduk kopinya tanpa melihat ke arah Shireen.

"Maaf," suara Shireen akhirnya memecah keheningan, pelan namun terdengar tulus. "Aku nggak tahu kenapa aku begitu marah tadi malam. Aku nggak bisa mengendalikannya. Aku hanya... takut kehilangan kamu, Gre."

Gracia menatapnya. Ada luka dan kelelahan di mata Shireen yang mungkin tidak pernah dia perhatikan sebelumnya. Selama ini, Shireen selalu terlihat begitu kuat, begitu dominan. Namun di balik semua itu, Gracia kini bisa melihat bahwa Shireen sebenarnya penuh ketakutan dan kecemasan.

"Aku mengerti, Shireen," kata Gracia lembut. "Tapi kamu harus mengerti juga. Aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku merasa terperangkap. Aku butuh ruang, aku butuh kepercayaan. Kamu nggak bisa mengontrol semuanya."

Shireen menatap Gracia, diam sejenak. Kemudian dia menunduk, kedua tangannya bermain dengan ujung lengan baju tidurnya, tanda bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang dalam.

"Aku nggak tahu bagaimana caranya," Shireen mengakui. "Aku nggak pernah tahu cara membiarkan orang yang aku cintai bebas. Aku selalu takut mereka akan pergi. Aku nggak bisa kehilanganku. Itu sebabnya aku seperti ini."

"Aku nggak akan pergi, Shireen," jawab Gracia pelan. "Tapi kamu harus belajar mempercayaiku. Kita nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kalau kamu terus memaksa, aku yang akan lelah. Dan saat itu terjadi, aku mungkin benar-benar akan pergi."

Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Gracia tahu bahwa ini mungkin adalah pertama kalinya dia berani berbicara setegas ini kepada Shireen. Dan dia bisa melihat dampaknya di wajah Shireen. Tatapan Shireen melembut, namun juga dipenuhi dengan rasa takut.

"Apa kamu... apa kamu masih mencintaiku?" tanya Shireen, suaranya terdengar hampir seperti bisikan, penuh ketidakpastian.

Gracia menarik napas panjang. "Aku masih mencintaimu, Shireen. Tapi cinta ini harus berubah. Kita berdua harus berubah, kalau kita ingin hubungan ini bertahan."

Shireen terdiam, pikirannya jelas berkecamuk. Dia tahu bahwa Gracia tidak hanya sekedar berbicara ini adalah peringatan terakhir. Jika Shireen tidak berubah, dia akan kehilangan Gracia, satu-satunya orang yang membuat hidupnya berarti di luar dunia bisnis yang dingin.

***

Beberapa hari berlalu, dan Gracia mulai merasakan perbedaan kecil dalam sikap Shireen. Shireen tampak lebih berusaha menahan emosinya, meskipun Gracia bisa melihat bahwa itu tidak mudah baginya. Setiap kali Gracia keluar atau bertemu dengan teman-temannya, Shireen masih tampak gelisah, tapi dia menahan diri untuk tidak memeriksa ponsel Gracia atau menelepon setiap saat. Meski perubahan itu kecil, Gracia menghargainya.

Namun, di sisi lain, Gracia juga mulai menyadari bahwa mungkin, tidak semua bisa berubah hanya dengan usaha keras. Ada bagian dari Shireen yang sangat sulit untuk dilepaskan ketergantungan pada kontrol. Setiap kali Shireen merasa terancam, baik oleh rasa takut ditinggalkan atau oleh kenyataan bahwa Gracia semakin mandiri, emosi Shireen selalu cenderung meledak.

Suatu malam, Gracia duduk sendirian di kamar, merenungkan semua yang telah terjadi. Dia membuka kembali ponselnya dan menatap pesan dari Greesel, yang belum juga dia balas. Kali ini, tanpa ragu, dia mengetik sebuah pesan singkat.

"Aku butuh bicara. Bisa ketemu besok?"

Setelah menekan kirim, Gracia merasa seperti telah mengambil langkah besar, meski kecil. Langkah menuju kebebasan, atau setidaknya, kejelasan.

Gracia tahu bahwa hubungan ini masih bisa diperbaiki, tapi hanya jika Shireen benar-benar mau melepaskan kontrolnya. Dan jika tidak, Gracia juga tahu apa yang harus dia lakukan untuk dirinya sendiri. Cinta tidak selalu cukup, terutama jika cinta itu mencekik daripada membebaskan.

.
.
.
.
.

Jangan lupa vote,like,and follow ya guyss🙏🔥

Next >>>>

Obsess with you_(Greshan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang