Prologue

142 65 31
                                    

Di sebuah lorong terdapat beberapa orang yang tengah mendorong bangkar berwarna putih dan biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sebuah lorong terdapat beberapa orang yang tengah mendorong bangkar berwarna putih dan biru. Dengan seragam berwarna biru yang menandakan jika orang tersebut adalah seorang perawat dan juga dokter yang berada di antara banyaknya perawat yang mendorong bangkar.

Di atas bangkar tersebut terdapat seorang atma yang tengah berbaring lemas dengan wajah pucat dan kehilangan cahaya. Bibirnya kering hampir tak ada warna. Seluruh energi yang ada di dalam daksa seorang atma itu seolah-olah lenyap. Matanya terpejam rapat dan keningnya berkerut, menandakan rasa sakit yang tak dapat di ucapkan. Namun, bisa di rasakan.

Napasnya terengah-engah, kadang terputus-putus, memberikan gambaran betapa beratnya perjuangan tubuhnya. Seluruh tubuhnya terlihat lemah, tangan dan kaki tak bertenaga, seperti terkulai tanpa sebuah asa.

"Ta...maafin ibu..." Ketika sosok wanita parubaya yang menganggap dirinya seorang ibu itu memegang tangannya, kulitnya terasa sangat dingin bagaikan sebongkah es batu yang turun langsung dari sebuah gunung Everest di Himalaya, membuat hati siapa pun yang melihatnya bergetar.

"Esta...." Bukan hanya sosok ibu saja yang sedih di sana. Rupanya, banyak orang-orang yang mengenalnya berusaha menahan air mata ketika melihat wajah dari sosok atma bernama Semesta Arbani. Namun, kerap di panggil Esta.

Langit Ardana yang merupakan seorang kakak laki-laki dari Semesta Arbani kini tampak rapuh. Melihat Semesta yang terbaring lemah di atas bangkar dan akan di bawa ke ruangan unit gawat darurat mengingatkan dirinya tentang fragilitas hidup dan sebuah asa yang kuat untuk nya berjuang dengan segala doa kepada Tuhan yang di sertai oleh asa Semesta yang ingin hidup lebih lama untuk mencapai sebuah asa nya. Walaupun dengan rasa takut yang menyelimuti banyak pihak.

***

Setelah beberapa jam waktu berputar. Akhirnya, seorang dokter itu keluar dari sebuah ruangan unit gawat darurat yang hanya boleh di masuki oleh pasien, perawat dan juga dokter yang merupakan orang pihak dari rumah sakit.

"Dok, gimana keadaan adik saya?"
Langit dan juga ibu nya itu kini berdiri menghampiri sang dokter untuk bertanya terkait kondisi Semesta yang hanya mereka harapkan kepada Dokter dan juga takdir yang akan di utus oleh Tuhan dan juga diizinkan oleh bentala.

Dokter tersebut terdiam membuat jantung Langit dan juga Ibu nya berdebar dengan kencang. Seolah-olah mereka sedang di permainan oleh situasi dan juga takdir.

"Mohon maaf, pasien mengalami penurunan gagal ginjal. Kemungkinan dia hanya memiliki waktu untuk bertahan hidup selama satu tahun," ucap dokter dengan nada yang penuh kesedihan.

Deg!

Kata-kata itu seolah membekas dalam hati Langit dan ibunya-Mentari, seperti palu yang menghantam dinding keheningan.

Langit terdiam, tubuhnya bergetar ketika ia mencoba mencerna informasi yang menyakitkan itu. Matanya memejam erat, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang. Dalam pikirannya, gambaran Semesta, sang adik, terbayang-bayang dengan senyum ceria dan tawa hangatnya yang kini terasa jauh.

Semesta dan Arunika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang