"Bahkan, aku rela di rusak jika itu kamu yang minta" — Arunika Raespati
Tepat seperti yang dijanjikan, pada senja yang merona, Arunika melangkah bersama Kainan menuju apartemen tempat tinggalnya. Mereka berdua mendaki anak tangga menuju lantai empat, setiap langkah dipenuhi harapan dan hasrat yang sudah di nanti nantikan.
Brak!
Dengan suara yang menggema, pintu kamar Kainan terbuka. Arunika melangkah masuk, merasakan suasana hangat dan akrab, lalu duduk di sofa yang empuk. Kainan, dengan langkah ringan, menuju dapur untuk menyiapkan minuman.
“Kamu mau minum apa, sayang?” tanya Kainan lembut, suaranya penuh perhatian.
“Aku mau air putih aja,” jawab Arunika tanpa ragu.
Kainan tertegun sejenak, tubuhnya membeku di depan kulkas. Dalam hatinya, ia berharap untuk berbagi momen istimewa dengan botol alkohol yang ia persiapkan. Namun, suara lembut Arunika mengubah rencananya, mengingatkannya akan kesederhanaan dalam kebersamaan mereka.
“Kamu ga mau wine, sayang?” tanya Kainan, memastikan keputusan Arunika.
Dengan lembut, Arunika menggelengkan kepala. Ia telah cukup mabuk selama seminggu terakhir, dan tak ingin lagi terjerumus dalam keadaan yang sama, terutama sebelum pulang ke rumah. Ia ingin menghindari kecurigaan ibunya.
“Bosen,” jawabnya sambil mengangkat satu kakinya, menyilangkan dengan yang lain, lalu membuka ponsel. “Aku bosen mabuk terus,” tambahnya.
Kainan menghela napas, meski Arunika menolak alkohol, ia tetap membawa beberapa botol minuman untuk dinikmati bersamanya.
Tatapan Arunika terfokus pada botol-botol yang dibawa Kainan, mengingatkan pada saat-saat ketika ia kehilangan kesadaran.
“Sayang, aku bener-bener ga mau mabuk…” kata Arunika, berusaha jujur kepada kekasihnya.
Kainan tersenyum lebar, mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut wajah Arunika hingga ke rahangnya, menunjukkan kasih sayang yang tulus.
“Katanya, kamu mau memberikan semua yang aku mau,” Kainan menjeda ucapannya, matanya berkilau penuh harap. “Dan inilah yang aku mau.”
Dengan lembut, Kainan mencengkram rahang Arunika, membuatnya hampir kehabisan napas.
“I-iyaa, s-sayangg. Oke, aku akan ikut minum,” jawab Arunika dengan nada terbata-bata, napasnya terasa terbatas di antara cengkraman Kainan.
Kainan melepaskan genggamannya, merasa puas. Ia segera membuka botol minuman itu dan menyerahkannya kepada Arunika.
“Oke, come on, minumlah, sayang.”
Arunika menatap sejenak Kainan, melihat sinar di matanya. Dengan ragu, ia mengambil botol yang diberikan dan mulai meminum isinya.
“Good girl, sayang,” puji Kainan, merasa senang. Ia menepuk-nepuk kepala Arunika dengan penuh bangga, senyumnya merekah seperti mentari pagi.
“Kalau kamu penurut kayak gini, aku jadi semakin sayang kamu,” ujarnya sambil membuka botol minuman lain, meneguk setiap tetesnya dengan semangat.
Tak lama berselang, efek dari wine yang melimpah mulai menguasai kesadaran mereka. Arunika, yang sudah teler, membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan lemah, menikmati kedamaian yang melingkupinya. Sementara itu, Kainan tersenyum, memandangi Arunika yang terlelap dalam keheningan.
Di matanya, Arunika tampak begitu rentan, telanjang dan memikat, membangkitkan gelora dalam dirinya. Hormon testosteron mengalir deras, menciptakan campuran antara keinginan untuk melindungi dan ketertarikan yang mendalam. Momen itu dipenuhi dengan keindahan yang tak terlukiskan, menjalin hubungan yang penuh warna antara keduanya.
“S-sayang?” Kainan beranjak dari tempat duduknya, lalu duduk dengan lembut di atas kaki Arunika. “Kamu sayang aku gaa?” bisiknya, mendekatkan wajahnya ke telinga Arunika yang setengah terpejam.
Arunika membuka matanya sedikit, senyuman tulus menghiasi wajahnya saat melihat Kainan di hadapannya. “Sayang,” jawabnya lembut.
“Aku bahkan rela memberikan apapun demi kamu,” lanjut Arunika, suaranya bergetar penuh perasaan. Ia mendesah lembut saat Kainan menekan tubuhnya dengan badan besarnya, menciptakan kedekatan yang penuh kehangatan. Momen itu mengalir dalam suasana intim, mengikat keduanya dalam ikatan kasih yang mendalam.
"Kalau gitu, ayo tunjukan..." pinta Kainan. Tangannya yang sudah tidak kuat itu mulai mengelus paha Arunika, hingga merangsang hasrat Arunika.
"Ahhhhhh, gelii yangg" desahnya membuat Kainan mengalihkan tangannya ke atas dada.
"Kalau ini? ga geli kan sayang?!?" Kainan mulai meremas kedua gunung yang di miliki oleh Arunika membuat Arunika menggeliat.
"NGHHHHHHHHH S-SAKIT YANGGG"
Melihat Arunika yang semakin merangsang, Kainan mendongakkan wajahnya. Ia mendekatkan bibirnya dengan bibir milik Arunika. Lalu, ia melumat bibir Arunika hingga basah. Tak lupa, cowok itu beralih hingga ke rahang dan meninggalkan kissmark yang begitu banyak di sana.
"Everything I want, huh sayang?" kata Kainan sembari membuka celana nya dan memulai adegan yang sangat panas.
Drt.....
Kainan menghentikan sejenak aktivitasnya saat melihat ponsel Arunika bergetar di atas meja. Dalam keadaan setengah sadar, Arunika meraih ponselnya dengan tangan yang masih gemetar. Ketika ia mengangkat telepon itu, suara dari sang ibu terdengar jelas.
“Kamu jangan berisik,” ujarnya sambil menutup mulut Kainan dengan lembut, berusaha menahan suara agar tidak terdengar.
Kainan mengangguk, merasakan ketegangan yang menggelora di dalam dirinya. Ia menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang semakin sulit untuk dikendalikan.
“ARUNIKA, KAMU DIMANA? MAU PULANG ATAU IBU CORET NAMA KAMU DI KARTU KELUARGA?!”
Suara sang ibu menggema dalam nada khawatir, menambah berat suasana yang sudah penuh ketegangan.
"Iyaa, ibuu. Aru pulang sekarang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan Arunika
Teen FictionSemesta mengira, jika kehidupan nya akan selalu sunya, hampa dan penuh dengan lara. Ia melupakan, Jika bentala itu berputar dan sandyakala itu ada. Ia tidak akan pernah amerta di dalam ke sunyaan, ke hampaan dan juga lara ketika sandyakala menemukan...