Bab 03 : Takdir sang Arunika

73 46 2
                                    

"Takdir itu tidak bisa di bantah. Apalagi, di hindari" — Arunika Raespati.

Arunika melangkah perlahan, merayapi malam yang tenang ketika ia tiba di ambang rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arunika melangkah perlahan, merayapi malam yang tenang ketika ia tiba di ambang rumahnya. Dengan cermat, ia telah meninggalkan motornya di apartemen Kainan, berupaya menghindari curiga sang ibu. Dalam balutan seragam sekolah yang rapi dan tas di punggungnya, ia berusaha menutupi fakta bahwa waktu telah larut, meskipun raut wajahnya tidak menunjukkan kepanikan.

Clek!

Dengan hati-hati, Arunika menutup pintu depan, menghela napas lega saat suara gemerisik pintu tidak membangkitkan keheningan malam. Ia mengamati sekeliling, merasakan ketenangan di dalam rumah yang sepi, pertanda bahwa ibunya sudah terlelap dalam tidurnya.

"Untung aja, ibu udah tidur," bisiknya, sambil mengusap dada dengan lembut, merasakan ketegangan mulai mereda. Perlahan, ia melangkah menaiki anak tangga, berusaha meminimalkan bunyi.

"Arunika Raespati!"

Langkahnya terhenti sejenak, matanya terpejam ketika suara yang akrab menggemakan namanya.

Sosok yang tak asing, Delima Reastara, ibunya, menanti kepulangan putrinya dengan rindu yang mendalam.

Suasana malam yang tenang tiba-tiba dipenuhi dengan ketegangan, menyatukan dua jiwa dalam satu momen yang penuh harapan dan kerinduan.

"Hai, Ibu..." Dengan keberanian yang terkumpul, Arunika menyapa sang ibu. Jantungnya berdebar kencang, ketidaknyamanan menggelayuti kepalanya akibat wine yang baru saja ia nikmati.

Ia berharap aroma minuman itu tidak tercium oleh Delima, ibunya, yang kini mendekatinya dengan tatapan tajam dan aura kemarahan.

"Dari mana aja kamu?! Jam segini baru pulang?" tanya Delima, memberikan kesempatan bagi putrinya untuk memberi penjelasan.

"Aku baru aja selesai kerja kelompok, Bu!" Arunika menjawab dengan mantap, walaupun kata-katanya dipenuhi kebohongan. "Di sekolah ada proyek mendesak. Jadi, mau tidak mau, aku harus menyelesaikannya meski harus pulang larut."

Mendengar penjelasan yang teramat lemah itu, Delima menghela napas, mengangkat kedua alisnya dengan skeptis. "Jangan bohong sama ibu, Aru."

"Jujur, kamu habis dari mana?" tanya Delima, tatapannya menusuk, seolah-olah ingin menguak semua rahasia.

Arunika menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat, peluh mulai membasahi dahinya. Pikiran berlarian: Apakah ibunya sudah mengetahui bahwa ia telah bolos sekolah selama seminggu?

Ketegangan menggantung di antara mereka, menyelimuti malam yang seharusnya tenang dengan keraguan dan ketakutan.

Arunika terdiam, kata-kata tak mampu keluar dari bibirnya, terjerat dalam ketakutan.

Delima, dengan tatapan tajam, menyipitkan matanya saat ia menangkap kilasan warna keunguan di rahang Arunika. Wanita paruh baya itu mendongakkan kepalanya, niatnya untuk membuka kerah seragam putrinya semakin jelas.

Semesta dan Arunika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang