Tidak ada perasaan bahagia yang dirasa Akra saat menginjakkan kaki di kediaman Ardanta.
Bertemu dengan keluarga ayahnya hanya menghadirkan perasaan kosong dan hampa.
Akra sadar diri tidak ada yang menerimanya sepenuh hati di keluarga ini.
Papa yang seharusnya menjadi orang pertama yang menyambutnya dengan hangat hanya diam saat mereka jumpa.
Tatapan sinis dari istri papa dan kedua saudara seayahnya juga Akra peka.
Bagai benalu yang nantinya akan merugikan. Seperti itulah pandangan keluarga papa kepadnya.
Akra memindai kamar yang ditempatinya, kamar dengan cat berwarna biru langit ada lemari yang sudah berisi pakaian, lalu ada kursi dan meja belajar, diatas meja ada laptop, kasur spring bed yang dialasi dengan seprai berwarna beige polos, diatasnya ada 1 bantal, 1 bantal guling, dan selimut, lalu dikamar itu ada pintu, pintu yang menghubungkan kamar tidur dengan kamar mandi.
Entah sejak kapan keluarga Ardanta menyiapkan kamar ini untuk ia tempati?
Mungkin saat hasil tes DNA itu sudah keluar dan membuktikan jika Akra benar-benar anak Kaivan Handaru Ardanta.
Kamar ini sangat layak bahkan jauh lebih bagus dari pada kamar kecilnya dulu.
Tapi anehnya Akra tidak punya rasa syukur untuk diucap.
Akra tidak tahu bagaimana cara hidup untuk kedepannya.
Karna Akra merasa hanya raganya yang hidup sementara jiwanya sudah mati.
Mati rasa.
Gendoran pintu brutal itu mengganggu tidur Akra, ayolah Akra baru terpejam saat pukul tiga dini hari tadi, dan sekarang seseorang mengganggunya dengan gendoran pintu yang memekakkan telinga.
Melirik jam diatas dinding Akra berdecih, ini pukul 4 pagi anjeng, siapa yang mengganggu Akra di jam segini?
Dengan langkah gontai menggerutu Akra membuka pintu dan mendapati seorang anak laki-laki dengan perawakan menggemaskan, tinggi anak itu hanya sedada Akra.
Kunti bogel?
"Abang Cakrawala" senyuman manis dengan gigi kelinci anak itu menjadi pemandangan pertama yang Akra lihat saat membuka pintu. Bocah manis yang masih mengenakan piayama dengan gambar Tayo itu menatap Akra berbinar.
"Kamu siapa?" kerutan samar terlihat di dahi Akra.
"Aku Awan"
Awan?
Aaaa... Akra baru ingat jika ia memiliki seorang adik yang kata kakek Hadyan anak itu masih kelas 1 SMP.
"Ngapain kamu kesini pagi-pagi buta?"
"Aku penasaran kayak apa anak papa yang kata mama berasal dari rahim wanita lain itu, aku udah nungguin abang kemarin dari pagi, tapi abang malah tiba malam banget, jadi aku ketiduran gak sempat ikut makan malam sama abang"
Anak itu berbicara dengan nada suara enteng tanpa ada nada julid, tapi perkataan itu cukup membuat sakit hati, tidak tahukah Awan jika perkataannya cukup tajam?
"Ya udah cuman itu, lanjutin lagi gih boboknya aku mau balik ke kamar, dada abang Akra"
Awan melambai, dan lalu berjalan santai menuju tangga untuk ke lantai tiga.
Akra hanya melongo anak itu cukup ajaib.
Bocah edan.
Tapi dibandingkan dua saudaranya yang lain anak itu cukup lumayan.
Bumi dan Gisela bahkan tidak sudi menyapanya kemarin malam.
Mereka berdua memiliki wajah dingin bak antagonis.
Tapi tidak apa, Akra juga tidak berniat untuk mendekati mereka.
Kembali masuk kedalam kamar Akra tidak berniat melanjutkan tidurnya lagi karna rasa kantuk yang hilang gara-gara diganggu bocah sebleng modelan Awan.
Akra duduk dimeja belajar, membuka laptopnya, laptop baru dengan logo apel gigit.
Laptop itu sudah tersambung wifi.
Akra mendownload beberapa game, tapi kemudian dia tidak jadi bermain game. Karena tidak mengerti bagaimana cara mainnya.
.
Pagi ini keluarga Ardanta sarapan bersama, aroma dari roti yang baru di panggang, dan nasi goreng yang baru masak menguar di indra penciuman Akra.
"Pagiiii semuaaaaa" sapaan riang itu memecah keheningan, siapa lagi pelakunya jika bukan Awan, satu-satunya makhluk periang yang dimiliki Ardanta.
"Pagi sayang" Livia membalas sapaan anak bungsunya itu dengan senyuman merekah.
"Pagi abang ku sayang" Awan mengecup pipi Bumi yang sedari tadi hanya diam sembari memakan sarapannya.
Bumi hanya diam tanpa berkomentar apapun atas perlakuan adik bontotnya itu. Sudah biasa.
Awan langsung duduk disebelah Akra, sial padahal Akra sengaja duduk dengan memberi jarak dua kursi kosong dari keluarganya yang lain.
"Loh bang Akra kok gak pake seragam?"
Akra hanya diam, karna ia tidak tahu apakah keluarga Ardanta mengurusi sekolahnya atau tidak.
"Papa, abang Akra gak sekolah?" anak itu akhirnya menatap sang ayah yang tampak sibuk dengan ipadnya dengan sesekali menyeruput kopi.
"Belum, papa belum urus surat kepindahan sekolahnya" papa menjawab tanpa mengalihkan perhatian.
"Kalo bang Akra libur, adek juga mau ikut lib---- Aduh" Belum juga rampung perkataan anak itu tapi seseorang sudah menyentil dahinya dengan sadis.
"Apaaan sih kak" anak itu melirik kesal Gisela, kakak sulungnya.
"Kamu mau ikut apa? Ikut libur?" Gisela bertanya dengan mata melotot.
"Ya gak papa dong biar bang Akra punya teman di rumah, iya kan mama?" anak itu menatap mamanya dengan binar cerah berharap mama meng iya kan, tapi justru mama malah sama melototnya seperti kak Gisela.
"Gak ada ya dek, kamu tetap sekolah, gak ada libur-libur" sahut Livia dengan mata masih melotot.
"Mama gak seru" bibir Awan mengerucut membuat tangan Bumi tidak tahan untuk tidak memukul bibir itu.
"Aduh, sakit abang" anak itu menatap abangnya berang.
"Makanya bibir gak usah di monyong-monyongin" sahut Bumi santai.
Keributan pagi di keluarga Ardanta itu tidak mempengaruhi Akra dengan rasa sepi yang dirasainya, jika boleh jujur Akra ingin kembali saja ke kamarnya.
"Akra"
Suara itu suara papa, Akra menoleh pada pemilik suara itu.
"Surat kepindahan sekolah kamu akan di urus oleh pak Wahyu, kamu akan sekolah di tempat yang sama dengan Bumi"
"Kenapa harus satu sekolah sama Bumi mas?" Livia bertanya seakan tidak terima anaknya satu sekolah dengan anak haram seperti Akra.
"Ya kan gak mungkin satu sekolah sama adek ma, adek masih SMP, bang Akra udah SMA" celetukan asal Awan menghadirkan tawa dari Bumi tapi mama malah kembali melotot pada anak bungsunya yang ASBUN asal bunyi itu.
"Adek diam dulu bisa?" Livia memperingati dengan nada tegas.
"Ayah yang minta biar Akra satu sekolah sama Bumi" Kaivan hanya menyahut singkat setelah anak bungsunya kembali diam dengan menundukkan kepala.
"Apa ayah gak mikir gimana reputasi Bumi tiba-tiba punya adik selain Awan, gimana pandangan orang nantinya?"
"Ma kita udah bahas ini, Akra akan di perkenalkan sebagai anak angkat dalam keluarga kita, jadi orang tidak akan tahu tentang kebenarannya"
Harusnya Akra sakit hati, harusnya Akra lemparkan piring diatas meja ini ke kepala papa, tapi anehnya Akra biasa saja. Akra tidak sakit hati.
Terserah mereka saja.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Warna Cakrawala
ФанфикCakrawala adalah nama yang indah dengan makna lengkungan langit, lengkungan langit dengan garis yang membatasi Bumi. Tapi takdir Akra tidak seindah namanya. Kelabu pekat yang menutupi warna takdirnya membuat Akra dengan berani meneguk segelas air ya...