Akra memperhatikan penampilannya melalui cermin lemari, seragam sekolah yang melekat ditubuhnya agak kebesaran, tapi pada dasarnya Akra itu orang yang cuek dengan penampilan tentu tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Akra mengambil tas ransel diatas meja belajar, menyampirkan tali tas itu dikedua sisi bahunya, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar.
Dimeja makan sudah ada papa, tante Livia, Bumi, dan Awan, sedangkan Gisela kakak tertuanya kemarin sore sudah kembali ke Singapura, Gisela adalah mahasiswi jurusan Statiska di National University of Singapore (NUS).
Akra duduk disamping Awan dengan gerakan kaku.
"Selamat pagi abang kuh" Awan menyapa girang, tapi Akra hanya membalas dengan anggukan kepala yang terkesan canggung.
"Hari pertama ini kamu berangkat bersama Bumi" suara Kaivan yang berbicara kepada Akra menghentikan aktifitas Bumi yang sedari tadi makan sambil memperhatikan ponsel.
"Kenapa sama aku?,dia bisa berangkat sendiri pa" protes Bumi.
"Ini hari pertama sekolanya Bumi, hari ini aja berangkat sama kamu dan nanti sampai sekolah tolong kamu antar Akra ke ruang kepala sekolah"
"Paa" Bumi masih tidak terima.
"Besok gak lagi" Kaivan berucap final tanpa mau dibantah
"Akra, karna kamu belum cukup umur untuk punya kendaraan sendiri, kamu bisa pergi pulang sekolah pake bus atau taksi" atensi Kaivan sepenuhnya menyoroti Akra yang hanya diam.
"Kenapa harus pake kendaraan umum? Bang Akra bisa berangkat pulang pergi bareng aku dan pak Beni" protes Awan, pak Beni sebenarnya adalah tukang kebun dikediaman mereka, tapi seringkali jasa supirnya digunakan oleh Awan, sehingga lambat laun pekerjaan pria baruh baya itu di rumah ini menjadi dua job.
"Sekolah kalian beda arah" kali ini Livia yang menjawab.
"Kalo gitu sediain mobil dan jasa supir buat bang Akra, anak papa gak pernah pulang pergi sekolah pake kendaraan umum kalo lagi gak kepepet-pepet banget"
"Awan!" Kaivan menyebut nama putra bungsunya itu dengan raut muka tidak senang.
"Kenapa?" Awan menjawab tanpa takut.
"Awan kenapa kamu jadi ngelawan gini? Di cuci otak kamu sama anak haram itu" Livia menunjuk Akra dengan raut berang.
"Kata-kata mama jahat banget tau gak"
Awan menghempaskan sendok ke piring sehingga menghasilkan bunyi ngiing yang cukup memekakkkan.
"Awan sudah, saya gak papa" Akra akhirnya mengeluarkan suara menatap Awan memohon.
"Belum ada lo seminggu disini tapi udah bikin suasana rumah gue jadi gak nyaman, ayo pergi" dengan kasar Bumi menarik tasnya lalu beranjak dari duduk, Bumi menyalami kedua orang tuanya sedangkan Akra hanya melihat tanpa ikut menyalimi seperti Bumi, ketika Bumi selesai dengan ritual salimnya, Akra membungkukkan badan dengan sopan kepada kedua orang dewasa itu.
***
Perjalanan ke sekolah hanya diisi keheningan oleh kedua kakak beradik beda ibu yang hari ini berangkat menggunakan mobil yang sama itu.
Bumi menyetir dengan kebisuan yang mencekam.Wajah Bumi itu menyeramkan, dan saat marah seperti ini seramnya seperti ditambah berkali-kali lipat, seperti ada aura angkernya, buktinya saja bulu-bulu halus di permukaan kulit Akra berdiri hanya karna diamnya seorang Bumi.
"Gua pengin hajar lo sampai mati anjing!" tiba-tiba saja Bumi berteriak.
"Harusnya lo gak usah lahir, anak haram pembawa sial"
Tidak ada respon dari Akra, anak itu hanya diam.
"LO DENGAR GUA GAK SIH ANJING!"
Bumi menolehkan wajah marahnya pada Akra.
"Dengar, dan maaf karna saya udah lahir, kalo bisa milih saya juga gak mau dilahirin" Akra menjawab tenang meski sebenarnya saat ini ia dilanda ketakutan akan sosok Bumi disampingnya.
"Lo apain adek gua sampe dia ngebela lo segitunya?"
"Gak saya apa-apain, kalo boleh jujur saya juga gak mau dibela Awan"
"Sialan lo anjing"
Akra salah apalagi? Dia sudah menjawab pertanyaan Bumi dengan tepat kan?
***
Turun dari mobil setelah memakirkan mobilnya, Bumi langsung melongos pergi seakan tidak ingat pesan papa yang memintanya untuk mengantarkan Akra ke ruang kepala sekolah.
Akra juga tidak protes, Akra tidak ingin Bumi meledak lalu membentaknya lagi seperti tadi, takut jika itu terjadi mereka akan menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang ada di lingkungan sekolah.
Dengan muka kebingungan Akra berjalan dengan mata mengamati setiap bagian dari bangunan sekolah.
"Aduh" saking fokusnya Akra dia tidak sadar sudah menabrak seseorang, sebuah buku dengan sampul bergambar detective conan jatuh ke lantai.
"Lo kalo jalan liat pake mata dong" marah orang itu dan segera memungut buku komiknya yang jatuh ke lantai.
"Maaf, aku gak sengaja"
Orang itu masih menatap Akra jengkel, seakan menolak permintaan maaf Akra.
"Udahlah Ren, dia gak sengaja lagian lo juga jalan sambil baca komik anjir" timpal seorang pemuda yang sedari tadi berada disamping anak laki-laki yang dipanggilnya Ren itu.
"Lo murid baru?" pemuda itu mengalihkan tatapannya pada Akra, melihat seragam Akra yang jelas sekali terlihat barunya membuat pemuda itu mengambil kesimpulan jika Akra adalah murid baru.
"Iya, aku lagi cari ruang kepala sekolah"
"ayo gua antar, gua Jansen, dan ini orang yg tadi lo tabrak namanya Aren" Jansen memperkenalkan diri dengan tangan merangkul Aren.
"Aku Cakrawala, kalian bisa panggil aku Akra"
"Cakrawala? Garis Horizon pembatas Langit dan Bumi?" tanya Jansen.
"Kalo kata KBBI sih lengkungan Langit" sahut Aren, meski tadi kesal tapi sekarang raut wajah pemuda itu sudah biasa kembali.
"Nama lo bagus" sahut Jansen memuji.
"Gak sebagus takdirnya" Akra bergumam lirih.
"Maksudnya?" tanya Jansen.
"Nggak, ayo antar aku ke ruang kepala sekolah"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Warna Cakrawala
FanfictionCakrawala adalah nama yang indah dengan makna lengkungan langit, lengkungan langit dengan garis yang membatasi Bumi. Tapi takdir Akra tidak seindah namanya. Kelabu pekat yang menutupi warna takdirnya membuat Akra dengan berani meneguk segelas air ya...