Di Ambang Kehidupan dan Kematian (1)

78 24 4
                                    

Hamparan bintang-bintang berkilauan tersebar membentuk pola acak yang memukau. Cahaya lembut yang samar-samar dipancarkannya begitu indah menghias pekatnya langit malam.

Sementara bulan yang menggantung di bawahnya tampak bersembunyi di balik lapisan awan tipis. Awan-awan itu bergerak perlahan, mengikuti arah hembusan angin seolah keduanya terikat dalam harmoni yang tak terpisahkan.

Di bagian timur istana Kekaisaran Beihe, tempat para harem berada, terdapat sebuah area yang begitu aneh hingga tak seorang pun berani mendekat. Area itu disebut sebagai 'Tempat Terlupakan,' sebuah lokasi yang hanya menyisakan rumor dan ketakutan di antara para dayang dan kasim yang bekerja di sana.

Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang tersembunyi di baliknya, yang pasti, area itu dikelilingi oleh tembok besar setinggi 15 chi yang menjulang seperti dinding penjara seolah tak tertembus oleh dunia disekitarnya.

*1 chi = 33.33 cm

Rumor yang beredar di kalangan penghuni istana timur mengatakan bahwa di balik tembok itu berdiri sebuah istana yang dulunya menjadi milik seorang selir. Selir tersebut, konon, mengakhiri hidupnya dalam keputusasaan setelah dituduh merencanakan pemberontakan.

Di malam hari, beberapa orang yang kebetulan melewati tempat itu mengaku mendengar suara-suara aneh dari balik tembok tinggi tersebut. Kesaksian-kesaksian itu seakan memperkuat spekulasi miring yang telah lama berseliweran meskipun tidak ada bukti yang benar-benar nyata.

Setelah lama terkubur dalam keheningan, cerita tentang 'Tempat Terlupakan' kini kembali mencuat ke permukaan. Semua bermula ketika seorang selir tingkat atas yang dituduh mencoba meracuni permaisuri diasingkan ke sana beberapa saat lalu. Kabar itu menyebar cepat, seperti api yang menyambar ranting kering.

---

Di sebuah kolam yang dipenuhi oleh bunga teratai. Berdiri sebuah paviliun kecil yang masih terlihat sangat kokoh. Paviliun itu tidak memiliki dinding ataupun pembatas-hanya ditopang oleh pilar-pilar kayu sebesar ukuran lengan orang dewasa di setiap sudutnya.

Seorang wanita berjubah putih duduk dengan anggun di dalam paviliun.

Angin malam yang lembut menarik ujung jubahnya, membuat kain itu berayun pelan di tengah kegelapan. Sementara tatapan matanya menghadap jauh ke depan menyatu dengan keheningan.

Wanita itu tampak begitu cantik dengan mata yang bersinar terang, alis yang sedikit melengkung, serta bibir tipis yang terkesan malu-malu. Garis wajahnya halus dengan rona kemerahan di pipi, meninggalkan kesan keindahan tiada tara bagaikan giok Kekaisaran yang mulia dan berharga, membuat siapa pun yang memandangnya terpesona.

Di hadapannya ada sebuah meja batu alam berbentuk persegi yang dipahat secara kasar dan ceroboh. Setiap sudutnya runcing dan tajam, beberapa bagian juga ada yang sudah gompal dan terkikis. Jika tidak berhati-hati, seseorang mungkin akan tergores dengan mudah tanpa disadari. Di atas meja tersebut tersaji seteko teh panas yang masih mengepulkan asap tipis; asap putih itu memudar cepat saat bertemu dengan udara, dan ditempat yang sama pula terdapat sekendi arak bertuliskan ‘kebahagiaan murni’ arak itu, konon sangat terkenal di wilayah daratan tengah.

Saat wanita itu menuang teh yang baru diseduhnya ke dalam cangkir giok. Suara percikan air nyaring, memecah kesunyian malam yang begitu dalam, bahkan mengalahkan suara katak yang sesekali menguak di sekitar kolam.

Tepat ketika bibirnya hampir menyentuh tepi cangkir, angin yang tadinya tenang tiba-tiba berhembus sedikit lebih kuat hingga menggoyangkan beberapa pohon bunga plum yang tumbuh subur di halaman—membuat ribuan kelopak bunga berwarna terang melayang di udara, berputar dan menari dalam pusaran angin, seolah memiliki kehidupan sendiri. Ia terhenti sejenak, perhatiannya tersita, dan tanpa sadar, sebuah senyuman tipis mengembang di wajahnya.

Wanita itu sedikit memiringkan wajahnya, tepat ketika, seseosok pria berpakaian hitam muncul tanpa tanda-tanda kedatangan.

"Kali ini, Anda benar-benar telah gagal, dan ketua sangat kecewa. Apakah Anda paham konsekuensinya?" Pria berpakaian hitam itu melangkah perlahan, mendekat hingga berdiri beberapa meter di belakang wanita berjubah putih.

Wanita itu tersenyum tipis, suaranya terdengar lembut dan tenang tanpa meninggalkan jejak emosi yang berarti.

"Tentu saja, sejak awal, hidupku hanyalah pemberian dari ketua. Namun pada akhirnya... aku tetap mengecewakannya."

Pria berpakaian hitam kembali berbicara dengan nada dingin, "Kata-kata dan penyesalan Anda tidak diperlukan oleh ketua. Saya yakin Anda juga tahu itu, bukan? Ini peringatan terakhir yang diberikan kepada Anda. Saya harap Anda melaksanakannya dengan baik."

Begitu kata-katanya selesai, pria tersebut lenyap dari pandangan.

‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙

Di sebuah ruangan yang diterangi oleh kilauan remang dari lentera tua dan beberapa lilin kecil yang berderet di atas meja, terlihat seorang wanita yang tengah terbaring lemah di atas ranjang kayu berukiran motif bunga peony. Kulitnya nyaris sepucat lilin yang menyala, sementara bibirnya kering dan sedikit terkelupas, seolah menandakan jika jiwanya telah berjalan menuju huangquan.

*Huangquan (黄泉) = Alam baka / Dunia Bawah

Di meja kecil dekat ranjang, terdapat mangkuk berisi ramuan obat yang sudah hampir habis, dengan aroma pahit yang melayang-layang, menandakan usaha terakhir untuk menyelamatkan hidupnya. Namun, meskipun telah diberikan berbagai ramuan, wanita itu tampak terjebak di antara dua dunia, tak sepenuhnya hidup, namun belum mati, seperti bayangan yang tak bisa bergerak maju atau kembali ke masa lalu.

The Light that Breaks the DuskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang