Happy reading
•
•
•
•
•
•
•
•
•Hari-hari setelah insiden di taman berlalu dengan cepat, tetapi bagi Aileen, semuanya terasa berbeda. Setiap kali ia melangkah ke sekolah, ada rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Meskipun ia tampak ceria di luar, di dalam dirinya, ada rasa takut yang terus mengganggu. Ia berusaha untuk tidak memikirkan apa yang terjadi, tetapi setiap detak jantungnya mengingatkannya akan kondisi yang mengintai.
Di rumah, Aileen berusaha untuk tetap berperilaku normal. Ia membantu ibunya menyiapkan sarapan, menyapu lantai, dan merapikan kamarnya. Namun, setiap kali ia melakukan aktivitas yang sedikit berat, rasa lelah itu muncul kembali, menghampiri seperti bayangan yang tak ingin pergi. “Aileen, kamu harus lebih banyak beristirahat,” kata ibunya suatu pagi, melihat putrinya yang tampak kelelahan. “Kamu baru saja pulang dari sekolah. Jangan terlalu memaksakan diri.”
“Aku baik-baik saja, Bu,” jawab Aileen, berusaha tersenyum meskipun ia merasa lelah. Ia tidak ingin ibunya khawatir lebih dari yang sudah ada. “Aku hanya sedikit capek setelah bermain.” Ia berusaha meyakinkan ibunya bahwa semua ini hanyalah efek dari bermain terlalu banyak, seperti yang biasa ia lakukan.
Hari itu, Aileen pergi ke sekolah dengan semangat. Ia ingin bermain dengan teman-temannya dan melupakan sejenak rasa lelah yang sering menghantuinya. Namun, saat bel sekolah berbunyi dan pelajaran dimulai, rasa lelah itu kembali datang. Setiap kali ia berusaha berkonsentrasi, matanya terasa berat, dan pikirannya melayang. Ia berusaha menahan rasa kantuk, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk melakukannya.
Ketika pelajaran olahraga tiba, Aileen merasa bersemangat. Ia ingin berlari dan bermain seperti biasa. Namun, saat guru memanggil mereka untuk bermain bola, Aileen merasakan napasnya mulai sesak. Ia mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa sakit itu kepada teman-temannya. “Ayo, Aileen! Kamu bisa!” teriak salah satu teman sekelasnya, mendorongnya untuk ikut bermain.
Aileen tersenyum, berusaha menutupi ketidaknyamanannya. “Tentu saja!” jawabnya, meskipun dalam hati ia merasa ragu. Ia berlari ke lapangan, tetapi setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat. Rasa pusing kembali menghampiri, dan jantungnya berdegup kencang. Dalam sekejap, ia merasa seolah dunia berputar.
Ketika bola datang menghampirinya, Aileen mencoba untuk menendangnya, tetapi kakinya terasa lemas. Ia terjatuh, dan teman-temannya segera menghampirinya. “Aileen! Apa yang terjadi?” tanya salah satu temannya dengan cemas. Aileen berusaha tersenyum, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura.
Setelah beberapa saat, guru olahraga datang dan memeriksa keadaan Aileen. “Aileen, kamu baik-baik saja?” tanyanya, khawatir melihat wajah pucat Aileen. “Aku… hanya sedikit lelah,” jawab Aileen, berusaha meyakinkan semua orang di sekitarnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekadar kelelahan biasa.
Setelah pelajaran selesai, Aileen duduk di bangku taman, berusaha mengatur napasnya. Ia melihat teman-temannya bermain dengan ceria, tetapi ia merasa terasing. “Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” pikirnya. Rasa kesepian mulai menyelimuti hatinya. Ia ingin berlari dan tertawa, tetapi tubuhnya tidak mengizinkannya.
Ketika bel pulang berbunyi, Aileen berjalan pulang dengan langkah pelan. Ia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Setiap kali ia berusaha untuk bersikap ceria, rasa sakit itu datang kembali, membuatnya merasa semakin tertekan. “Apa yang salah denganku?” tanyanya dalam hati, tetapi tidak ada jawaban yang bisa ia temukan.
Sesampainya di rumah, Aileen langsung menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, menatap langit-langit. Ibunya datang dan mengetuk pintu. “Aileen, sayang, sudah pulang?” tanyanya dengan lembut. “Iya, Bu,” jawab Aileen, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.
Ibunya masuk dan duduk di tepi tempat tidur. “Kamu terlihat lelah, sayang. Apa yang terjadi di sekolah?” tanyanya, penuh perhatian. Aileen mengangkat bahu. “Tidak ada yang terjadi, Bu. Aku hanya sedikit capek.” Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa sakitnya, tetapi ibunya tampak tidak percaya.
“Kamu pasti tidak baik-baik saja, Aileen,” kata ibunya, memegang tangan Aileen. “Kita perlu pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisi kamu.” Aileen menggelengkan kepala. “Tidak perlu, Bu. Aku baik-baik saja.” Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa takutnya, tetapi ibunya tampak khawatir.
Dalam beberapa hari kemudian, Aileen terus berjuang melawan rasa lelah yang tak terduga. Ia berusaha untuk tetap ceria, tetapi semakin lama, semakin sulit untuk melakukannya. Rasa sakit itu terus menghantuinya, membuatnya merasa semakin tertekan. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berpura-pura.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY 1303
Teen FictionSinopsis: Aileen, gadis berusia enam belas tahun, memiliki senyuman ceria dan semangat yang tinggi, namun di balik keceriaannya, ia menyimpan rahasia besar: penyakit jantung. Ketika kondisi Aileen terungkap, ibunya memutuskan untuk mendonorkan jantu...