Hari-hari berlalu, dan Galen semakin terjebak dalam kebenciannya terhadap Aileen. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, suasana menjadi tegang. Aileen berusaha mendekatinya, mencoba berbicara dan menjelaskan, tetapi Galen selalu menolak. Ia merasa marah setiap kali melihat wajahnya, seolah wajah itu menjadi pengingat akan semua rasa sakit yang ia rasakan.
Suatu pagi yang kelabu, Galen melangkah masuk ke dalam kelas dengan langkah yang berat. Ia tidak ingin berhadapan dengan siapa pun, terutama Aileen. Namun, saat ia duduk di bangkunya, ia melihat Aileen sudah menunggu di sudut ruangan. Gadis itu terlihat cemas, tetapi ada keteguhan di matanya. Galen merasa hatinya bergetar, tetapi ia menekan perasaan itu, berusaha untuk tidak peduli.
“Galen,” Aileen memanggil, suaranya lembut namun penuh harap. “Bisa kita bicara sebentar?”
Galen mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak menatapnya. “Tidak ada yang perlu dibicarakan,” jawabnya dengan nada dingin.
“Setidaknya dengarkan aku,” Aileen mendesak, tetapi Galen hanya menggelengkan kepala. Ia tidak ingin mendengar penjelasan atau alasan. Semua yang ada dalam pikirannya adalah kebencian yang mendalam terhadap gadis itu.
Sejak hari itu, Aileen tidak menyerah. Ia terus berusaha mendekati Galen, mencari momen di mana mereka bisa berbicara. Setiap kali mereka bertemu, perdebatan tak terhindarkan. Aileen selalu mencoba menjelaskan, tetapi Galen selalu memotongnya dengan kata-kata tajam yang menusuk.
“Kenapa kamu tidak bisa mengerti? Aku tidak ingin mendengarmu!” teriak Galen suatu ketika, saat mereka bertemu di kantin. Aileen hanya bisa menatapnya dengan mata penuh air mata, tetapi Galen tidak peduli. Ia pergi, meninggalkan Aileen yang terdiam, merasakan sakit yang semakin mendalam.
Waktu berlalu, dan perasaan Galen semakin memburuk. Ia bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, terlibat dalam berbagai kegiatan yang merusak. Ia merasa seolah ia sedang mencari pelarian dari rasa sakitnya, tetapi semua itu hanya membuatnya semakin terpuruk. Ia tahu bahwa ia sedang menghancurkan dirinya sendiri, tetapi kebencian itu telah mengambil alih pikirannya.
Suatu sore, saat pulang dari sekolah, Galen memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui taman. Ia tidak ingin bertemu siapa pun, tetapi saat ia melangkah masuk ke area taman, ia melihat Aileen duduk di bangku yang biasa mereka gunakan. Gadis itu terlihat sendu, wajahnya tertunduk, seolah beban dunia ada di atasnya.
Galen merasa hatinya bergetar lagi, tetapi ia segera menepis perasaan itu. Ia berbalik untuk pergi, tetapi suara Aileen menghentikannya. “Galen, tolong… aku hanya ingin menjelaskan.”
Galen menahan napasnya, berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang perlu kamu jelaskan, Aileen? Semua sudah jelas! Kamu adalah penyebab semua ini!” Ia merasa kemarahan itu mengalir deras, dan ia tidak bisa menahannya lagi.
Aileen mengangkat wajahnya, dan Galen melihat air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakiti siapa pun. Aku hanya… aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada untukmu.”
“Untukku?” Galen tertawa sinis. “Kau hanya ingin menghibur dirimu sendiri. Kau tidak tahu apa yang aku rasakan! Kau tidak tahu betapa hancurnya hidupku sejak kepergian ibuku!”
Aileen terdiam, tetapi Galen bisa melihat kesedihan yang mendalam di matanya. “Aku tahu kamu merasa kehilangan, dan aku juga merasakannya. Kita semua kehilangan, Galen. Tapi menyalahkan orang lain tidak akan mengubah apa pun.”
“Jadi, apa yang kamu sarankan? Kita harus bersahabat seperti dulu? Apakah itu akan mengembalikan ibuku?” Galen merasa kata-katanya semakin tajam, dan ia tidak bisa menghentikannya. Ia merasa seolah semua kemarahan dan kebenciannya harus dikeluarkan.
Aileen menundukkan kepala, tetapi ia tidak mundur. “Aku tidak bisa mengembalikan ibumu, Galen. Tapi aku bisa menemanimu melewati rasa sakit ini. Aku tidak akan pergi.”
“Bisa kamu berhenti berbicara seolah kamu tahu segalanya?” Galen berteriak, suaranya mengg ema di taman. “Kamu tidak tahu apa pun! Kamu hanya ingin menghibur dirimu sendiri!”
Aileen terlihat terluka, tetapi ia tidak mundur. Ia berdiri, dan Galen melihat kesedihan yang mendalam di matanya. “Aku tahu kamu merasa sakit, Galen. Tapi aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sini, untukmu.”
Galen merasa hatinya bergetar lagi, tetapi ia menolak perasaan itu. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Aileen yang terdiam di taman. Ia tahu bahwa ia sedang meninggalkan sesuatu yang penting, tetapi kebencian itu telah mengambil alih pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY 1303
Teen FictionSinopsis: Aileen, gadis berusia enam belas tahun, memiliki senyuman ceria dan semangat yang tinggi, namun di balik keceriaannya, ia menyimpan rahasia besar: penyakit jantung. Ketika kondisi Aileen terungkap, ibunya memutuskan untuk mendonorkan jantu...