Galen berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap hujan yang turun deras di luar. Setiap tetes air yang jatuh seolah membawa kembali kenangan pahit yang tidak ingin ia ingat. Ibunya, wanita yang selalu ada untuknya, kini telah pergi. Galen merasa hampa, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Namun, di balik rasa kehilangan itu, ada sesuatu yang lebih gelap—kebencian yang menggerogoti hatinya.
“Aileen,” gumamnya, menyebut nama gadis yang selama ini menjadi sahabatnya. Nama itu kini terasa seperti racun yang menyebar di dalam dirinya. Ia menyalahkan Aileen atas kepergian ibunya. Menurutnya, jika Aileen tidak pernah ada dalam hidupnya, mungkin ibunya tidak akan merasa tertekan dan mengambil keputusan yang menyakitkan itu.
Galen mengalihkan pandangannya dari hujan, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun, bayangan Aileen terus menghantui. Senyumnya yang ceria, tawanya yang menenangkan—semuanya kini terasa menyakitkan. Ia merasa terasing, seolah Aileen adalah penghalang antara dirinya dan kenangan indah yang pernah ada.
Hari-hari berlalu, dan kebencian itu semakin mengakar. Galen mulai menjauh dari Aileen, menghindari pertemuan-pertemuan yang dulunya selalu dinantinya. Ia lebih memilih menghabiskan waktu sendirian, terjebak dalam pikirannya yang kelam. Di sekolah, ia tidak lagi peduli dengan pelajaran. Nilai-nilainya merosot, dan teman-temannya mulai khawatir. Namun, Galen tidak peduli. Ia merasa bahwa tidak ada yang bisa memahami rasa sakitnya.
Suatu sore, saat hujan reda dan matahari mulai menampakkan diri, Galen memutuskan untuk pergi ke taman. Ia butuh udara segar, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa duka. Ia berjalan tanpa tujuan, hingga akhirnya menemukan dirinya di sebuah bangku tua yang terletak di bawah pohon besar. Bangku itu adalah tempat yang sering ia dan Aileen kunjungi untuk berbagi cerita dan impian.
Galen duduk di sana, mengingat kembali momen-momen indah bersama Aileen. Namun, ingatan itu segera terdistorsi oleh kemarahan yang menggelora. “Semua ini salahmu, Aileen,” bisiknya pada diri sendiri. “Jika saja kamu tidak ada, semuanya akan baik-baik saja.”
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Galen menoleh dan melihat Aileen berjalan menuju bangku itu. Senyumnya yang ceria membuatnya merasa semakin marah. Ia tidak ingin melihat wajah itu, tidak ingin merasakan kehadirannya. Dengan cepat, Galen berdiri dan berbalik pergi.
“Ayo, Galen! Tunggu!” teriak Aileen, berusaha mengejarnya. Namun, Galen tidak mau mendengarkan. Ia terus berjalan cepat, berusaha menghindar dari gadis itu. Rasa marah dan kebencian menguasai dirinya, membuatnya tidak ingin berhadapan dengan Aileen.
“Kenapa kamu menjauh dariku?” Aileen bertanya, napasnya terengah-engah saat akhirnya berhasil menyusul Galen. “Kita bisa bicara tentang ini.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan!” teriak Galen, membuat Aileen terkejut. “Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan! Kau adalah penyebab semua ini!”
Aileen terdiam, matanya membesar karena terkejut. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti…”
“Jangan berpura-pura! Semua ini terjadi karena kau ada! Jika kau tidak pernah muncul dalam hidupku, mungkin ibuku masih ada!” Galen merasa kata-katanya semakin tajam, seolah-olah ia menusuk Aileen dengan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.
Aileen terlihat terluka. “Galen, aku tahu kamu merasa sakit. Tapi aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku tidak bisa mengubah kepergian ibumu.”
“Dan aku tidak ingin melihatmu lagi!” Galen berbalik dan pergi, meninggalkan Aileen yang terdiam di tempatnya. Rasanya seperti ada beban yang terangkat, tetapi di sisi lain, hatinya terasa semakin kosong. Kebencian itu mungkin telah mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kebencian.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Galen semakin terjerumus dalam hal-hal negatif. Ia mulai bergaul dengan teman-teman yang salah, terlibat dalam pergaulan bebas dan kegiatan yang merugikan. Ia merasa se olah-olah ia tidak peduli dengan hidupnya sendiri. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia sedang mencari sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan—kesadaran bahwa ia tidak sendiri, bahwa masih ada orang yang peduli padanya.
Dan Aileen, gadis yang pernah menjadi sahabatnya, kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY 1303
Teen FictionSinopsis: Aileen, gadis berusia enam belas tahun, memiliki senyuman ceria dan semangat yang tinggi, namun di balik keceriaannya, ia menyimpan rahasia besar: penyakit jantung. Ketika kondisi Aileen terungkap, ibunya memutuskan untuk mendonorkan jantu...