Sudah sekitar satu jam Dira hanya mendengar suara papan ketik dan desing mesin pendingin ruangan. Matanya terfokus pada layar, jarinya menari di papan ketik menghiraukan suasana hatinya yang buruk. Tenggat sudah di depan mata, Dira tidak sempat lagi untuk mencak-mencak di hadapan Rama.
Eh, tapi tunggu sebentar. Ketenangan tadi sejatinya terjadi dua menit yang lalu. Kenyataannya sekarang Dira sedang memelotot ke arah Rama sambil menunjuk minuman berwarna oranye di mejanya.
"Gue kan udah bilang GREEN THAI TEA. Bukan THAI TEA!"
"Yaudah sih gue juga udah bilang MAAF."
"Ya lo maafnya juga 'iyadeh iya maaf' KAYAK GAK IKHLAS TAU?!"
Rama memijat pelipisnya, cowok itu mulai jengah dengan kelakuan Dira.
"Ini nih yang gue gak suka sama lo akhir-akhir ini. Semua hal dipermasalahin. Aneh tau gak? Gue udah capek ngurusin banyak hal di rumah, balik ke sini malah harus ngehadepin lo. Kenapa semua tindakan gue seolah ngaruh banget ke lo? Kenapa seolah gue dibebanin ekspektasi perlakuan gue ke lo? Hm?"
Rama meledak malam itu, wajahnya merah, rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Rama marah.
Satu dua pasang ekor mata mencuri pandang ke arah mereka. Rama tidak peduli.
"Sekarang gue nurunin ego buat nyelamatin nilai proyek kita dan menghargai lo sebagai teman sekelompok gue, tapi masalah sesepele gue salah pesen aja lo ributin, Dir?"
"Mau lo apa sih Dir?"
Dira diam mematung. Selain karena tersentak, sejatinya Dira tidak berpikiran sampai sejauh yang Rama pikirkan.
"Coba gue tanya sekali lagi Dir, kenapa semua tindakan gue mempengaruhi lo akhir-akhir ini? Gue telat, lo marah-marah. Gue gak kelas, lo sibuk nelponin gue. Oke dir, kita temenan deket, paham. Tapi dengan lo begini, yang ada bikin gue jadi capek tau gak?"
Pelipis Dira pias akan keringat. Jawabannya sederhana, ia tidak tahu kenapa. Sebelumnya Dira tidak berpikir jauh dan merasa tindakannya merupakan hal yang lumrah terjadi di antara mereka. Perasaan Dira campur aduk.
"Gue capek, Dir. Jadi sekarang, ayo selesaiin proyek ini, presentasi, dapet nilai, kelar."
"Maaf," cicit Dira dengan suara bergetar.
"Hm."
Rama mengambil udara sebanyak-banyaknya, berusaha menenangkan diri. Cowok itu akhirnya memilih untuk meminta maaf.
"Maaf Dir. Gue cuma... capek. Lo gak salah."
"Engga Ram. Lo bener, gue berlebihan. Maaf."
"Ya, maaf juga. Banyak hal yang harus gue kerjain akhir-akhir ini, maaf malah ngelampiasin ke lo."
Dira hanya sanggup untuk mengangguk. Keduanya pun kembali ke layar masing-masing dan menghabiskan malam dengan hening untuk menyelesaikan proyek mereka.
***
"Dit."
"Hm."
"Dit."
"Apa."
"Udit."
"Sekali lagi lo gak bilang tujuan lo manggil, gue panggil Pak Anto," bisik Udit sembari menunjuk pria dengan rambut nyaris botak yang sedang duduk di meja sambil mengetikan rumus randomize.
"Rama gak masuk?"
Udit mengernyit dan memberi tatapan kok nanya ke gue.
"Jadi bagaimana tadi penjelaaan secara sederhana prosedur penjumlahan yang digunakan oleh bangsa Mesir? Udit?"
MAMPUS.
Udit meringis sebelum akhirnya menatap ke arah Pak Anto takut-takut.
"Ayo Dit," Buru Pak Anto.
Udit masih membisu, karena jujur saja fokusnya sudah lenyap sejak Dira memanggil namanya berkali-kali.
"Oke, ada yang bisa bantu Udit?"
Hancur lebur citra yang sudah Udit bangun susah payah selama sua semester untuk menarik perhatian Pak Anto. Berlebihan memang, tapi Udit merasa momen ini krusial.
"Saya Pak!"
Akhirnya seorang 'penyelamat' Udit mengangkat tangan tinggi sebelum akhirnya 'membantu Udit' menjawab pertanyaan Pak Anto. Udit geram bukan kepalang memandang sebal ke arah Dira. Pelaku yang ditatap cuma bisa nyengir.
Gara-gara lo.
Kurang lebih demikian arti dari delikan mata Udit.
Dira hanya mampu memberikan gestur maaf dengan menyatukan dua telapak tangan miliknya.
Untuk sisa jam kuliah, Dira memutuskan untuk tidak mengganggu Udit. Kabar baiknya, Udit bisa mengembalikan citranya yang sempat amburadul dengan menjawab pertanyaan lainnya. Jadilah saat kelas berakhir, Dira bisa melihat cengiran Udit alih-alih tatapan ingin membunuh.
"Gila, gokil. Gue bisa jawab yang tadi coy!"
Dira cuma bisa mengangguk khidmat sambil tersenyum.
"Lagian lo sih. Mana gak bermutu lagi pertanyaannya, pake nanyain Rama segala."
Senyum Dira luntur. Perasaannya jadi gak karuan.
"Rama gak kelas ya tadi..."
"Ya menurut lo aja Dir, lo liat gak batang hidung Rama di kelas tadi?"
"Kok gak ngabarin gue ya."
"Lah ngapain?"
Lah bener juga.
"Oiya, kan lo presentasi ya siang ini sama Rama. Emang lo gak nanyain dia?"
Dira menghela napas lega, baguslah jika Udit bisa berpikir jernih terkait alasan mengapa Dira mempertanyakan kabar Rama.
"Enggak."
"Lah, yaudah si tanyain aja. Kayak sama siapa aja."
"Dit..."
"Apa lagi?"
"Gue kayaknya berantem sama Rama."
"Hah?"
"Gue kayaknya berantem sama Rama."
"Gue gak budeg. Gue denger. Gue HAH karena APA MAKSUDNYA KAYAKNYA? Berantem mah berantem aja, kenapa pake segala kayaknya."
"Soalnya..."
"Sttt... nanti aja. Gue udah mau kelas. Nanti ya, balik kelas metnum!"
"Ya...."
Sepeninggalan Udit, Dira hanya bisa terduduk lemas.
Aduh, Rama... Rama...
Kok bisa bikin kepala sama hati Dira acak-acakan begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Did They Know
RomanceBiasanya kalau ada Rama, pasti ada Dira (maaf jika membuat pembaca kecewa karena ini bukan persoalan Rama-Sinta). Di kelas, di foodcourt, dimana-mana (kecuali toilet) kalau kamu melihat Rama, pasti kamu akan melihat Dira. Sampai sekian banyak pagi y...