03: Salah Siapa?

6 0 0
                                    

Sudah tiga hari Dira uring-uringan persis orang habis putus. Mengintip sedikit isi twitter Dira, satu dua cuitan Dira yang berhiaskan umpatan berdampingan dengan nama Rama. Rama Bedebah, misalnya. Jangan salahkan Dira, ia juga tidak begitu yakin hari gini ia harus membubuhkan dear diary di sebuah notebook hanya untuk mencaci maki Rama.

Ngomong-ngomong sudah tiga hari pula semua tugas proyek Dira mangkrak. Mogok jalan. Ya bagaimana, buka laptop yang pertama dilihat folder desain website. Hasilnya? Ingat Rama. Tidak usah jauh-jauh deh, melihat laptop yang tertutup rapat pun Dira teringat adegan dorong-dorongan laptop di depan gazebo.

Dira gak kuat.

Setelah penuh pertimbangan, akhirnya Dira memutuskan untuk bercerita ke Udit. Itulah alasan akhirnya di hari Senin yang agak cerah ini ia dan Udit sudah duduk manis di lobby fakultas.

"Lo bayangin deh, Dit. Wajar gak gue sebel?" closing statement dari Dira setelah bercerita nyaris dua puluh menit terkesan menggiring Udit untuk menjawab iya (mengingat Udit kan duluan kenal Dira bukan Rama).

Udit menyatukan alis, sok berpikir. Gelagat Udit sangat meyakinkan— membuat Dira optimis 100000% Udit berpihak padanya.

"Wajar sih..."

SIH?! Batin Dira langsung meraung-raung.

"Tapi menurut gue kalau lo gak suka sama Rama harusnya lo gak perlu keoffense gak sih?"

Muka Dira langsung masam.

"Eits, tenang dulu... Maksud gue ya perasaan gak terima lo valid kok! Lo sebel juga wajar... Tapi ya itu, harusnya gak akan jadi masalah kalau lo jawab oke? Karena yaudah lo aslinya gak naksir sama Rama?"

Udit panik, Dira makin masam. Udit rasa-rasanya ingin membawakan cermin raksasa biar Dira bisa melihat langsung kalau wajah Dira yang sekarang itu gak banget.

"Berarti gue harus terima-terima aja gitu dibikin malu?" timpal Dira sarkas.

"Ya kenapa malu? Kan' yang Rama bilang cuma peringatan gitu, kalau ternyata enggak ya... yaudah gak sih?"

Dira menghembuskan napas keras-keras. Jawaban Udit tidak memuaskan. Padahal, Dira sudah membubuhkan kolom 'jawaban yang diharapkan' di rencana pembelajaran miliknya— eh?

Jujur saja Udit gak paham kenapa Dira seuring-uringan ini. Apalagi menilik klaimnya yang menyatakan dengan penuh ketegasan bahwa ia tidak menyukai Rama. Apakah memang ini sebatas gengsi Dira sebesar alam dan seisinya? Atau sebenarnya Dira suka tapi gak sadar?

"Tapi gue penasaran juga sih Dir... Emang lo beneran gak ada rasa gitu sama Rama?"

"Rasa? Ada... EMOSI... gatau deh, sebel gue."

Udit cuma bisa geleng-geleng kepala sebagai respon. Gagal paham.

Dira menopang wajahnya dengan kedua telapak tangan. Walaupun kadang agak oon, Dira juga bisa mikir kali. Dira yakin semua yang dia lakukan (dan Rama lakukan) itu normal sebatas interaksi antar teman. Dira juga yakin seharusnya Rama gak perlu merasa kegeeran sampai di tahap repot-repot memberi peringatan.

Jangan-jangan Rama yang naksir sama Dira?

Hiih.

Dira garuk-garuk kepala sebelum akhirnya Udit mengajukan pertanyaan lagi.

"Terus habis itu Rama ada minta maaf gak?"

Dira yang tadinya sibuk garuk-garuk langsung berapi-api lagi.

"LAH IYA... ITU DIA DIT SIALANNYA DIA GAK ADA NGECHAT GUE SEKEDAR NANYAIN KEK GUE UDAH SAMPE RUMAH APA BELOM DI HARI ITU?? SAMPE HARI INI??? APALAGI MAAF? GAK ADA TUH MAAF?"

"Lagi nyiapin ondel-ondel kali buat minta maaf ke lo."

Dira mengangkat sebelah alisnya, "Gue bikin video joget deh kalau Rama beneran minta maaf bawa seserahan."

"Bener ya?"

"Lah kayak bakal minta maaf aja. Rama mana pernah minta maaf duluan?"

"Au. Siapa tau tiba-tiba akalnya jalan."

"Gak ngarep sih gue."

Hening beberapa saat.

"Eh Dit..."

"Hm?"

"Besok tuh deadline website?"

"Iye."

"Tai."

***

Tiga hari Dira tidak menyentuh proyek website yang notabennya tidak bisa dikerjakan jarak jauh. Kenapa? Karena kalau filenya dikirim bolak-balik, interface websitenya bisa hancur lebur berantakan. Harus dari satu device. Maklum, mahasiswa gak punya budget lebih untuk hosting. Jadi seharusnya... catat! SEHARUSNYA! Rama dan Dira berada di satu tempat yang sama untuk menyelesaikan proyek website mereka yang bertajuk "Jalan Yuk!" tersebut.

Sayang tiga hari tersisa tersebut tinggal angan. Dira malah ribut dengan Rama. Pasca keributan pun Rama enggan mengetuk ruang obrolannya dengan Dira, ditambah Dira juga gengsi mau chat duluan. Hasilnya? Dira keasyikan. Lupa bahwa besok deadlinenya.

Kalau begini, salah siapa?

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Dira melirik layar ponselnya yang menyala terang. Nama Rama terbaca jelas, jari Dira tinggal mengklik kontak tersebut untuk menanyakan kabar proyek website mereka.

chat gak ya?

chat gak ya?

masa gue duluan sih?

lah tapi nilai gue gimana dong

Bagai mampu membaca pikiran Dira dari jarak jauh (walaupun telat), nama Rama akhirnya memenuhi layar ponsel Dira dengan ikon telepon yang bergerak-gerak.

Rama is Calling...

Dira memandangi ponselnya beberapa saat. Gengsi kalau diangkat terlalu cepat, takutnya Rama makin geer. Setelah dirasa cukup, barulah tangan Dira terulur untuk menjawab panggilan tersebut.

"Dir, ayo Semusim¹."

"Hah?"

"Gue udah di depan rumah lo."

"Hah?"

"Buruan, tugas kita belom kelar kocak."

tut.

"Rama tai."

***

Author Note:

¹ nama cafe

Little Did They Know Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang