Tolong tandai jika ada typo atau kekeliruan.
Happy reading!
🥀🥀🥀
Matahari masih mau menampakan keelokan jingganya saat Gus Afkar menjejakkan kakinya di kota Bangkalan. Suhu udara dingin merayap kulitnya yang terlapisi jaket sewaktu perjalanan tadi. Namun, ia tahan demi perempuannya. Usai berembuk semalam, akhirnya Fiza setuju diantarnya membeli kain dan beberapa kebutuhan butik lainnya di Surabaya.
"Assalamu'alaikum."
Mengetuk pintu, senyum Gus Afkar merekah mendapati wajah segar Fiza yang masih terbalut mukena, menyambutnya. Ia tebak istrinya menanti waktu dhuha.
"Wa'alaikumussalam, maaf aku punya wudhu," tutur Fiza memilih tidak menyalimi Gus Afkar.
"Gak papa." Pemuda itu masih merangkai senyum, memperhatikan Fiza lekat-lekat karena rindu dalam dada yang seolah tak mampu tertampung lagi.
"Ayo, masuk."
Kini untuk ketiga kalinya, Gus Afkar masuk ke dalam rumah Fiza. Yang pertama sekitar satu bulan yang lalu, waktu hubungan mereka sedang runyamnya. Kedua, minggu lalu—merayakan hari jadi mereka. Dan ketiga, saat ini.
Meski hanya tiga kali, tapi Gus Afkar sudah berhasil mengabsen rumah itu. Dari jengkal ke jengkal dan tiap sudut ke sudutnya sehingga ia hapal, jika ada empat kamar di rumah bertingkat dua itu. Dua di lantai dasar dan dua di lantai atas. Ada halaman belakang yang dihiasi taman bunga. Ada kolam renang dan gazebo, juga kolam ikan yang terletak di samping rumah.
"Tadi aku buatkan kamu kopi. Kalau mau, minumlah."
Tanpa disuruh dua kali, Gus Afkar yang baru duduk meraih cangkir berisi cairan warna hitam yang tersaji di meja, menghirup sedap aromanya yang mengepul dibalik asap lalu menyeruput pelan setelah berbisik basmalah.
"Terima kasih. Kopi buatanmu rasanya istimewa."
Menipiskan bibir, Fiza mengangguk canggung di depan Gus Afkar. Begitulah Gus Afkar. Dari dulu sudah pandai memujinya walau kadang pujiannya dilebih-lebihkan hanya untuk membuatnya senang.
"Kamu gak ada kuliah? Semalam katanya mau jemput jam sebelas."
Sedikit tertegun tadi Fiza karena Gus Afkar secara mendadak mengabari sedang dalam perjalanan ke rumahnya, bertolak belakang dengan perjanjian yang dicetuskannya semalam.
"Ada—"
Belum sempat Gus Afkar menyelesaikan perkataannya sudah lebih dulu Fiza memotongnya. "Jangan bolos karena aku. Lagipula tidak begitu mendesak."
Gus Afkar mengulum senyum. "Aku gak akan bolos. Tenang saja. Aku cuma mau mengajakmu singgah di kostanku selama nanti empat jam aku kuliah."
Kontan alis Fiza mengernyit. "Kenapa begitu?"
"Kamu belum pernah ke sana, kan? Jadi aku pikir kamu harus tahu seperti apa tempat tinggalku di sana."
Entah apa maksudnya. Fiza tidak menangkap. Ia setuju-setuju saja asalkan Gus Afkar tidak memaksa untuk tinggal bersama.
Sebenarnya ada alasan lain yang tak bisa Gus Afkar jabarkan kepada Fiza. Ia tidak sabar bertemu istrinya. Ia ingin membawa istrinya lama-lama di kostannya, itu alasan utamanya.
Matahari terbit sempurna. Fiza prediksi sudah memasuki waktu dhuha. Perempuan itu pamit guna laksanakan ibadah. Gus Afkar mengiyakan. Pemuda itu memejamkan matanya yang terasa berat di ruang utama. Semalam ia kurang tidur. Gus Afkar hanya tidur satu jam. Pemuda itu overthinking sampai tak bisa tidur gara-gara memikirkan lelaki yang menolong Fiza. Hatinya gelisah dan takut Fiza akan berpaling darinya, lebih-lebih saat Fiza membahasnya semalam agar tidak terjadi kesalahpahaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAFI (Cinta seorang Gus 2)
SpiritualPernikahan mereka adalah sebuah kesalahan. Keduanya menikah saat masih sama-sama belum siap. Gus Afkar dipaksa menerima dan Fiza terpaksa menerima. Bak perjodohan pada umumnya, pernikahan itu tidak berjalan mulus. Banyak kerikil, batu besar bahkan b...