Chapter 22: Jaket

151 8 0
                                        

"Mau kemana, sih? Buru-buru amat," tanya Teh Sarah.

Kubalas dengan cengiran sembari membereskan meja kerjaku dengan cepat.

"Udah dijemput pacarnya," sahut Reno yang baru masuk ke ruangan kami.

"Jadi? Lanjut? Kok lo nggak cerita, sih?" protes Teh Sarah.

"Enggak, apa, sih. Enggak!"

Teh sarah bangkit dan menuju mejaku. "Beneran lanjut?" desak Teh Sarah.

"Next aku ceritain, oke?" Tanganku melambai pada Teh Sarah yang masih penasaran.

"Kemana, El?" Tiba-tiba Pak Dedi sudah berdiri di tengah pintu.

"Eh Pak Dedi, sore Pak!" Aku mengangguk sopan. "Mau pulang, Pak, kan udah jam lima ini." Aku melirik arloji untuk memastikan aku tidak salah.

"Tumben pawang kantor pulang duluan?" canda bos itu. Mungkin karena dia sering melihatku pulang paling akhir, jadi merasa aneh jika aku pulang tepat waktu, bahkan saat ini belum tepat jam lima.

"Iya Pak, ada perlu. Pamit duluan ya Pak!" Aku mengangguk lagi. Buru-buru kulangkahkan kakiku keluar ruangan sebelum pertanyaan Pak Dedi semakin banyak.

"Evo sama Mirna ke mana?" tanya Pak Dedi terdengar, namun aku sudah melangkah melewatinya.

"Meeting di luar," jawab Teh Sarah terdengar saat aku sudah melewati pintu. Aku tetap melangkah dan berusaha tidak peduli dengan urusan di dalam.

"Buru-buru Mbak El?" sapa Pak Mansur saat aku baru keluar dari pintu utama kantor.

Kubalas dengan senyum saja, lalu buru-buru menuju motor matic yang selalu kuparkir paling ujung karena paling teduh juga lebih leluasa untuk mengeluarkan motor dari barisan parkir.

Namun sebelum langkahku mencapai motor, sebuah SUV hitam memasuki parkiran kantor. Aku tahu itu Biyan. Kupercepat langkahku agar bisa menghindarinya. Aku sudah tidak marah, tapi aku masih terlalu enggan menemuinya.

Biyan mendekat ke arahku dengan langkah setengah berlari. Aku bergegas memundurkan motor . Dengan kakinya yang jenjang itu, tentu tak butuh waktu lama untuk mencapaiku. Buru-buru aku menunggangi jok motor, namun Biyan telah berdiri tepat di depan ban motorku. Aku bersiap menstarter agar bisa segera pergi. Tapi mesin motor agaknya terlalu gugup hingga tak mau menyala.

Biyan tersenyum. "Makanya—jangan menghindar!" ledeknya.

Aku mengerucutkan bibir.

Biyan mendekat. "Udah. Sini aku parkirin motornya!"

Tanganku masih mencengkeram kuat mempertahankan setang motor yang ku tumpangi.

"El⎯come on!"

Tanganku mencoba menstarter lagi, namun tak juga berhasil.

"Please!" pintanya.

Kutarik napas panjang dan merelakan Biyan mengambil alih motorku untuk kemudian diparkirkan ke tempat semula.

Aku gugup sehingga memilih mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku menangkap Pak Mansur tertawa seperti sedang meledek. Aku melotot padanya, namun bentuk bibirnya semakin terbuka lebar. Aku kesal sekaligus salah tingkah dibuatnya.

Biyan meraih tanganku, namun dengan cepat kuhempaskan. Aku terlalu kikuk jika ada banyak mata yang melihat kami. Biyan meraih tanganku lagi dan menggandengnya erat-erat, menarikku hingga kami tiba di mobil compact SUV hitam yang tadi ditumpanginya.

Aku menurut untuk masuk mobilnya setelah dia membukakan pintu untukku. Kupikir aku harus buru-buru sebelum banyak mata menyoroti kami. Aku terlalu enggan jika ada yang bertanya siapa laki-laki ini dan apa hubungannya denganku. Membahas kisah kami saat ini agaknya membuatku takut. Apa iya aku harus bilang kalau aku ini pelakor, perebut laki orang. Aku terlalu takut menghadapi cibiran orang. Tidurku tak akan pulas lagi jika dianggap menjadi Pelakor karena tidak laku-laku.

Ramalan Jodoh [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang