Chapter 7: Panggil Saja Bi!

223 10 0
                                    

Seorang perawat perempuan muda sedang mendorong kursi roda yang kududuki. Dia membawaku masuk ke dalam kabin lift. Aku melirik arloji yang masih tersemat di pergelangan tangan kiriku. Dua jam hampir berlalu sejak dokter memeriksaku kembali dan menyatakan aku boleh pulang.

Laki-laki jangkung yang masih belum kuketahui data kependudukannya itu pun masih membersamaiku hingga detik ini. Entah namanya siapa, dari mana asalnya, siapa ibu bapaknya, apalagi siapa Tuhannya, aku belum sempat bertanya. Yang pasti, saat ini aku merasa nyaman di dekatnya. Merasa aman berada dalam batas pandangannya.

Untuk manusia bucin sepertiku, perasaan tiba-tiba nyaman seperti ini bukanlah hal yang abnormal. Jangankan bertemu dengan orang yang seganteng dan seramah dia, plus selalu terlihat mengkhawatirkanku serta rela membiayai pengobatanku di rumah sakit bintang lima ini. Aku tuh, ada karyawan Indomaret yang ngucapin selamat pagi saja sudah auto merasa diratukan. Dasar aku, manusia bucin, butuh micin.

Semoga saja dia jodoh yang sedang dikirim semesta untukku, jiwaku berbisik. Khayalanku mulai liar saat mencuri pandang padanya yang berdiri tak jauh dari kursi rodaku.

Ting! Cepat sekali pintu lift ini terbuka. Perawat di belakangku dengan sigap mendorong kursi roda yang kutumpangi. Sementara laki-laki itu justru bergegas meninggalkan kami dengan berjalan sangat cepat entah ke arah mana. Namun sang perawat tetap saja mendorongku menyusuri lobi rumah sakit.

Sesampainya di pintu lobi, seorang satpam menyapaku dengan ramah lalu dengan sigap menggantikan perawat mendorong kursi rodaku.

Sebuah mobil hatchback berwarna putih datang dan berhenti tepat di hadapan kami. Laki-laki tadi keluar dari mobil itu. Tanpa aba-aba, tangannya yang ternyata sekekar baja itu tiba-tiba membopongku. Jantungku seketika berguncang hebat, pandanganku nyaris buram.

Ini adegan apa?, batinku.

Dengan cekatan Pak satpam pun membukakan pintu mobil agar laki-laki ganteng ini dengan mudah memasukkanku pada jok mobilnya.

"Makasih, Pak!" tuturnya sopan pada pak satpam.

"Sama-sama Pak, semoga istrinya cepat sembuh," ujar satpam itu dengan ramah.

What, istri? Dahiku mengernyit. Namun hatiku segera mengamini.

***

Toyota Yaris putih yang sedang kutumpangi melaju santai menyusuri sepanjang jalan Sunset Road menuju tempat kostku di Renon. Duduk dengan manis dan berusaha tampil kalem, adalah sebuah adegan pencitraan yang sempurna untuk menutupi otakku yang sedang pecicilan memainkan khayalan jinak.

Sementara laki-laki ganteng yang masih belum juga kupastikan namanya itu sedang menyetir dengan tenang dan khusyuk. Kedua lengan kekarnya tertutup lengan panjang kemeja yang digulung hingga siku. Tubuh atletiknya yang terbalut kemeja biru dongker slim fit itu juga menawarkan aroma wangi yang berkelas. Menurutku ini bukan wangi parfum tiga puluh ribuan yang dipajang berderet-deret di rak minimarket.

Aku membenarkan posisi dudukku, mencoba mengendalikan kecanggungan ini.

"Cuaca lagi sendu banget nih...," Suara merdu penyiar radio mulai terdengar di telingaku. Tanda otakku kembali waras.

"Bener banget nih!" penyiar kedua terdengar menimpali.

"Kayaknya ada yang lagi kangen nih sama seseorang."

"Aduh⎯, siapa niiiih?"

"Gebetan paling."

"Pacar mungkin?!"

"Atau-malah temen masa kecil tapi nggak tersampaikan nih kangennya."

Obrolan penyiar radio paling hits di Bali terdengar saling bersahutan. Samar-samar lagu Mahalini dan Nuca bertajuk 'Aku yang Salah' pun mulai terdengar dari speaker mobil.

Ramalan Jodoh [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang