Kembali ke Hitungan Pertama

14 1 0
                                    

Malam itu, kota berselimut keheningan. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip, membentuk bayangan temaram di aspal yang basah setelah hujan deras. Aku duduk di sudut kafe, menyesap secangkir kopi hangat. Dalam diam, pikiranku mendadak melayang ke sosok yang selama ini kukira sudah kubenamkan paling dalam. Sosok yang, entah kenapa, kembali hadir di sudut-sudut ingatanku.

Minggu lalu, aku berpapasan dengannya di jalan. Dia masih seperti dulu, dengan tatapan teduh dan senyum yang memikat. Senyum itu-senyum yang kuterima pertama dan terakhir kali sebelum kami berpisah bertahun-tahun lalu. Tak kusangka, dia melemparkannya lagi. Seketika, dunia di sekitarku terasa membeku. Senyuman itu menghantam kesadaranku seperti ombak besar yang menyeret jiwaku ke tengah lautan. Dalam hati, aku bertanya-tanya, mengapa dia tersenyum seperti itu? Seolah-olah dia ingin mengirimkan sinyal, memberi tanda bahwa aku benar-benar hanyalah masa lalu.

Ironisnya, saat itu aku bersama kekasihku. Tetapi entah kenapa, senyumannya seakan membakar semua kenangan yang sudah lama kucoba kubur. Di hadapanku, kekasihku berbicara, namun kata-katanya seolah tenggelam dalam keheningan yang tercipta di pikiranku. Jiwaku kembali terseret ke masa sepuluh tahun lalu, ke hari pertama aku dan dia bertemu. Hari itu adalah musim semi yang damai, ketika matahari bersinar hangat dan angin berembus lembut. Setiap pertemuan, setiap tawa, hingga akhirnya perpisahan, semua muncul begitu saja, mengoyak pertahanan hati yang kubangun selama bertahun-tahun.

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata bukan hanya aku yang merasakan kehadirannya kembali. Alam seakan bekerja sama untuk mengungkit semua kenangan itu. Anehnya, cerita tentang dia tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di keluargaku. Bahkan ayahku pernah menyebutkan namanya, seolah-olah alam sadar kolektif kami bersama-sama ingin menariknya kembali dalam hidupku.

Setiap malam, aku berdoa kepada Tuhan. Dengan hati yang lirih, aku memohon agar kisahku dengan dia cukup menjadi kenangan, sesuatu yang hanya hidup di masa lalu, terbungkus rapi di kotak memori yang tak akan pernah kubuka lagi. Aku ingin kisah itu tetap menjadi kisah yang hanya milik kami berdua-aku, dia, dan kenangan kami.

"Kasihan, Tuhan, kasihanilah kekasihku," ucapku dalam doa. "Dia yang tulus menerima segala kekuranganku. Jangan biarkan cinta lama itu kembali. Jangan biarkan masa lalu yang kuanggap telah usai ini kembali menyakiti hati yang kini kupercayakan pada orang lain."

Beberapa hari kemudian, aku berjalan sendirian di taman yang penuh dengan pohon besar dan bangku-bangku kayu. Angin sore menyapu lembut, membelai wajahku seolah ingin menghapus semua keraguan yang ada. Aku duduk di bangku, meresapi suasana sambil menatap daun-daun yang gugur perlahan. Semua tampak begitu damai, namun tidak dengan hatiku. Ada gejolak yang sulit kubendung, ketakutan bahwa suatu saat rasa ini akan semakin kuat, tak terkendali.

Di taman itu, kenangan seakan mewujud menjadi sosok nyata di hadapanku. Aku bisa merasakan seolah dia duduk di sampingku, tersenyum seperti dulu, menatapku dengan pandangan yang teduh. Sejenak, bayangan akan hari-hari penuh canda dan kebersamaan kami kembali menyergap. Rasanya, aku ingin meluapkan semua, menangis, dan membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu ini. Tapi yang kulakukan hanyalah duduk diam, meresapi betapa dalamnya perasaan yang selama ini kusimpan.

Tak lama, terdengar derap langkah mendekat. Aku menoleh dan mendapati kekasihku berdiri di sana, menatapku dengan senyuman tulus yang selalu menenangkanku. Dia duduk di sampingku, mengulurkan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut. Dalam sekejap, perasaan bersalah menyelimutiku. Bagaimana bisa aku begitu egois, membiarkan masa lalu menghantui hidupku yang sudah tenang ini?

"Hei, kamu kenapa?" tanyanya lembut, sembari mengusap punggung tanganku.
Aku menunduk, berusaha merangkai kata-kata yang sulit kuucapkan. "Kadang, bayangan masa lalu itu... muncul tanpa izin. Membuatku merasa seolah ada sesuatu yang belum selesai."
Dia tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh pengertian. "Aku tahu. Masa lalu memang tidak bisa kita hapus, tapi kita bisa memilih untuk melangkah ke depan bersama, kan?"

Kata-katanya bagai mantra, membuyarkan semua bayangan yang sempat mendominasi benakku. Seolah-olah, dia tahu apa yang sedang berkecamuk dalam diriku. Kehadirannya membawa kedamaian, seperti oasis di tengah kegersangan. Seketika, aku tersadar bahwa aku tidak lagi hidup dalam bayangan masa lalu. Di hadapanku, ada seseorang yang mencintaiku apa adanya, yang bersedia menjalani hari-hari bersamaku tanpa perlu takut pada bayang-bayang yang tak bisa kugapai.

Dengan hati yang lebih tenang, aku berbisik dalam hati. Tuhan, tolong kuatkan aku. Biarlah masa lalu ini tetap menjadi masa lalu. Cukup aku dan dia yang tahu tentang kisah itu. Jangan biarkan aku kembali.

Malam itu, saat kembali ke rumah, aku tersenyum kepada kekasihku dengan perasaan yang berbeda. Aku merasa bebas. Bebas dari belenggu kenangan yang selama ini membayangiku. Di sisi lain, aku pun sadar bahwa cinta adalah perjalanan yang selalu memberikan kesempatan baru. Dan aku telah memilih untuk melangkah bersama orang yang ada di hadapanku saat ini, orang yang menerima segala kekuranganku tanpa ragu.

Aku tahu, suatu saat mungkin bayangan itu akan kembali, membawa senyum yang dulu pernah menjadi duniaku. Namun, kali ini aku tidak takut lagi. Karena aku percaya, dengan kekasihku yang selalu ada di sisiku, aku akan mampu mengubah semua luka menjadi pelajaran.

Cukup, biarlah kisah lama itu tetap terkubur di tempatnya. Aku akan menyimpannya sebagai bagian dari perjalanan hidupku, tanpa perlu lagi memaksakan diriku untuk melupakan, tetapi juga tanpa memberinya ruang untuk menghancurkan apa yang sudah kubangun.

Seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat, aku tahu bahwa aku siap. Siap melanjutkan cerita hidupku dengan babak yang baru, tanpa perlu melihat kembali ke belakang. Semoga Ya, Tuhan !!

Jejak Yang Tak TerkuburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang