Sejak semalam, kepalaku serasa penuh dengan berbagai hal yang saling bertubrukan. Kira bilang kalau tubuhnya terasa sakit karena harus membereskan rumah setelah pesta ulang tahun keponakannya. Aku mengerti itu pasti melelahkan, namun mungkin ada sedikit bagian dalam diriku yang berharap ia memahami apa yang tengah kuhadapi juga. Hari ini dia ada ujian tengah semester, dan katanya ingin cepat pulang karena merasa tak enak badan.
Sebagai seseorang yang menghargai pendidikan, aku sering mengingatkannya tentang pentingnya persiapan dan belajar dengan sungguh-sungguh. Aku sudah beberapa kali bilang padanya bahwa esensi menjadi seorang mahasiswa bukan hanya soal hadir di ruang kelas atau menumpuk catatan, tapi bagaimana ia benar-benar menguasai materi, merenungkan dan memahaminya. Aku paham, mungkin caraku berbicara terlalu keras atau terdengar menggurui, tapi ini kulakukan karena aku ingin melihatnya berkembang dan berhasil. Namun kali ini, ia malah memintaku membantu mengerjakan tugas saat ujian, sesuatu yang aku anggap sangat bertentangan dengan prinsip yang selalu kutanamkan. Merasa kesal, aku memutuskan untuk tidak membantu, berharap ia bisa belajar dari pengalaman ini.
Keputusanku itu langsung membawa perubahan sikap darinya. Ia terlihat lebih dingin, seolah-olah keberadaanku tak lagi berarti. Kata-kata yang keluar darinya menjadi sindiran yang tajam, seolah-olah semua yang telah kami lalui bersama tidak ada nilainya. Aku tahu ini sepele, hanya tentang ujian dan kelelahan, tapi di saat yang sama, ini menyentuh lapisan yang lebih dalam, lapisan yang mungkin belum pernah kami sadari. Setiap percakapan kami, meski diisi sindiran atau perasaan terluka, terasa semakin menjauhkan kami. Padahal, aku sudah mencoba tetap mengiriminya pesan, menanyakan kabarnya, memberi ruang bagi dirinya. Namun, aku tak bisa memungkiri bahwa hatiku juga lelah.
Sementara itu, beban pikiranku sendiri terus menumpuk, menggantung seperti awan gelap yang tak kunjung menurunkan hujan. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan, bukan hanya tentang hubungan kami, tapi juga tentang masa depanku, keluarga, serta tanggung jawab pekerjaan yang terus menanti. Di tengah kegundahan ini, aku merasa seperti terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, aku ingin menjaga dan melindungi hubungan ini, memberi yang terbaik agar kami bisa bertahan. Namun, di sisi lain, aku juga merindukan kelegaan yang datang ketika aku bisa fokus pada diriku sendiri tanpa merasa bersalah. Seolah-olah, dalam setiap langkah yang kuambil, ada bagian dari diriku yang tertinggal, bagian yang kehilangan arah dalam labirin pikiran dan emosi ini.
Ya Allah, rasanya sulit untuk mengekspresikan semua ini dalam bentuk kata-kata. Kadang-kadang, aku hanya ingin meluapkan semuanya, menumpahkan air mata yang terus tertahan, mencari penghiburan yang tulus tanpa perlu merasa dihakimi. Tapi nyatanya, semua itu hanya menambah kerumitan. Hubungan ini, walau kadang terasa seberat beban yang sulit dipikul, juga memberiku alasan untuk terus melangkah. Aku tahu aku mencintainya, dan karena itu, aku tak bisa dengan mudah meninggalkan segalanya begitu saja. Namun di saat yang sama, aku merasa terjebak dalam kebingungan yang tak kunjung berakhir.
Hari ini, saat semua masalah ini datang bertubi-tubi, aku hanya bisa berdoa. Mohon petunjuk-Mu, Ya Allah. Mohon bimbingan-Mu dalam menjalani setiap langkah. Aku tahu, mungkin semua ini bagian dari rencana-Mu, tapi saat ini aku benar-benar merasa tak berdaya. Berikan aku kekuatan untuk menemukan kejelasan di antara kebingungan ini, serta keberanian untuk membuat keputusan yang terbaik, apa pun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Yang Tak Terkubur
Ficção AdolescenteSebuah novel yang menyentuh tema cinta, kenangan, dan perjuangan batin. Mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh utama yang kembali membayangkan sosok cinta pertamanya setelah bertahun-tahun berpisah. Saat berpapasan dengan sang mantan di sebuah j...