Di Simpang Kebingungan

1 1 0
                                    

Pagi ini, udara Kutacane terasa sepi meski matahari perlahan naik di langit. Aku duduk di sudut kamar, menghadap jendela, membiarkan pandangan jatuh ke jalanan yang lengang. Perasaan ini, entah dari mana datangnya. Ada yang bergemuruh, seperti lautan tak bertepi, penuh dengan arus-arus kecil yang saling bertabrakan—setiap gelombang mewakili satu kekhawatiran, satu pertanyaan yang berputar tanpa arah di pikiranku.

Aku merasa terbebani, tapi tak tahu apa yang menindih. Keluarga, pasangan, teman-teman, masa depan—semuanya berkumpul dalam satu simpul kebingungan yang kian mengencang. Setiap helaan napas terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada beban yang harus aku lepaskan, tapi tak tahu bagaimana caranya.

Dengan setengah hati, aku meraih ponselku, menatapnya lama tanpa membuka aplikasi atau menekan apa pun. Ada keinginan untuk meluapkan semua ini kepada seseorang, namun pada saat yang sama, aku takut jika apa yang kurasakan terlalu berat untuk dibagikan. Kekasihku, keluarga, bahkan sahabat terdekat sekalipun—aku ragu untuk bercerita. Rasanya sulit untuk sekadar mengatakan bahwa aku... bingung.

Ya Allah, bagaimana aku bisa memulai lagi? Jalan yang biasanya terasa jelas kini berubah jadi lorong gelap yang tak kuasa kumasuki. Sudah terlalu banyak yang kutempuh hingga kini, dan di titik ini, malah seakan kehilangan arah. Bagaimana jika aku tersesat lagi? Bagaimana jika aku melangkah dan salah? Aku hampir saja menangis hari ini. Tetapi, entah kenapa, air mata itu justru menolak untuk jatuh, seakan enggan memperlihatkan kelemahanku sendiri.

Ada begitu banyak pertanyaan yang bergulir di kepala. Aku bingung, dari mana aku harus mulai menata kembali? Haruskah aku mengutamakan karier, menyingkirkan rasa yang berseliweran tentang hubungan, atau malah memberi waktu lebih untuk keluarga? Satu hal yang kurasakan adalah bahwa hidup ini, dengan segala kerumitannya, seakan sedang mengujiku.Dengan tangan gemetar, aku menggenggam erat cangkir kopi di meja. Suhu hangatnya menenangkanku sedikit, tapi pikiran-pikiran itu terus membanjiri, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Aku mencoba berdoa, dalam hening, memohon jawaban, petunjuk atas segala kebingungan ini.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menghadirkan ketenangan. Menenangkan diriku bahwa, mungkin, setiap rasa bingung ini hanyalah fase yang harus kulewati, salah satu babak dalam kehidupan yang menguji keteguhan hati. Di tengah keheningan, suara batinku berbisik: mungkin tak semua pertanyaan harus dijawab sekaligus, dan mungkin langkah kecil bisa membantu menemukan jalan keluar dari simpang kebingungan ini.

Hari masih panjang. Kubiarkan diriku terdiam, menyusuri pikiran demi pikiran yang berkecamuk, mencoba berdamai dengan perasaan yang selama ini tertahan.

Jejak Yang Tak TerkuburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang