Semenjak hari itu, semua terasa berat di kepala Luka. Gelisah. Setiap detik terisi dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab: bagaimana jika memang Tuhan telah menakdirkannya untuk bersama Aira? Apakah ia bisa menolak takdir itu? Dan bagaimana dengan Kira, kekasih yang setia, yang selalu berusaha menerima semua sisi dirinya apa adanya? Haruskah ada luka baru yang tercipta? Atau akankah hubungan lama yang sudah terjalin ini terputus lagi? Betapa rumitnya semua perasaan ini, seolah masalah yang mereka hadapi selama ini kembali mengemuka, membanjiri pikirannya tanpa henti.
Dalam setiap helaan napas, Luka berdoa kepada Tuhan, "Jika Engkau berkenan, biarkan aku tetap bersama Kira. Berikanlah aku kekuatan untuk kembali dewasa dengan hubungan ini." Suara hatinya bergetar, seolah menyentuh langit yang kelam, berharap ada jawaban dari atas.
Kabar baik datang pada tanggal 23 Oktober 2024. Luka mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan dari Kutacane menuju Koetaradja, Banda Aceh—tanah serambi Mekkah, sekaligus kota kelahirannya. Perjalanan ini bukan hanya sekadar tugas dinas dari tempat kerjanya, tetapi juga sebuah kesempatan untuk menenangkan jiwa, untuk berintrospeksi dalam heningnya malam yang penuh bintang. Di sinilah, di antara hiruk-pikuk Kota Banda Aceh, ia berharap bisa belajar dan menemukan ketenangan dalam keramaian.
Sesampainya di Banda Aceh, aroma khas makanan lokal dan suasana yang ramai membuatnya merindukan rumah. Setiap sudut kota ini memiliki kenangan, baik manis maupun pahit, yang terukir dalam sanubarinya. Luka berjalan menyusuri jalan yang familiar, merasakan seolah setiap langkahnya membawanya kembali ke masa-masa ketika cinta itu baru bersemi. Hati dan pikirannya berkelindan, terperangkap dalam kerinduan dan harapan yang berseberangan.
Di suatu kafe, sambil menyeruput kopi yang hangat, Luka teringat akan momen-momen kecil yang pernah ia habiskan bersama Kira. Namun, bayang-bayang Aira muncul kembali, menghadirkan senyuman yang tak bisa ia lupakan. "Apakah aku berhak merasa bahagia jika kenangan itu selalu menghantuiku?" tanya Luka pada diri sendiri. Ia ingin melanjutkan hidup, tetapi rasa rindu itu begitu mengakar.
Di tengah kegundahan, sebuah pesan masuk dari Kira. "Luka, aku harap kau baik-baik saja di sana. Aku merindukanmu." Kata-kata sederhana itu seolah mengingatkan Luka akan cinta yang tulus, yang tak pernah pudar meski badai menerpa. Luka tersenyum pahit. "Ya, Kira... kau yang terbaik," ucapnya dalam hati, tetapi suara hatinya seolah mengisyaratkan keraguan.
Malam itu, saat langit dipenuhi bintang, Luka menuliskan segala perasaan dalam jurnalnya. Setiap kata menjadi pelipur lara, menyalurkan semua kerisauan yang membelenggu. "Tuhan, aku mohon. Berikanlah aku petunjuk. Jika aku memang harus bersama Kira, beri aku kekuatan untuk melupakan Aira sepenuhnya."
Dengan perasaan yang campur aduk, Luka memutuskan untuk menghabiskan hari berikutnya dengan menjelajahi tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Kira. Ia berharap bisa menemukan kembali semangat yang dulu. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah taman kecil di pinggir jalan, dikelilingi oleh bunga-bunga berwarna cerah. Di sanalah, di antara keindahan alam, ia ingin berdoa, berharap agar Tuhan memberinya jalan yang terang.
Di situlah Luka merenung, mengingat betapa berartinya Kira dalam hidupnya. "Aku harus berjuang untuk cinta ini," gumamnya, bertekad untuk tidak membiarkan kenangan lama mengganggu kebahagiaan yang mungkin masih bisa mereka bangun.
Hari itu, di Koetaradja, seakan-akan takdir memberikan Luka kesempatan kedua untuk menemukan jati diri dan memutuskan arah hatinya. Ia tahu, apapun yang terjadi ke depannya, kejujuran dan ketulusan akan menjadi kunci untuk menemukan kebahagiaan sejati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Yang Tak Terkubur
Novela JuvenilSebuah novel yang menyentuh tema cinta, kenangan, dan perjuangan batin. Mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh utama yang kembali membayangkan sosok cinta pertamanya setelah bertahun-tahun berpisah. Saat berpapasan dengan sang mantan di sebuah j...