Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🐚
Sebuah surat putih telah bersemayam selama empat hari lamanya di kotak surat, dan baru saja diambil sepulangnya Hindia ke rumah.
Seperti biasanya, surat itu ia letakkan diatas tumpukkan surat putih lainnya diatas meja kerja ayahnya. Surat-surat yang mungkin sudah bertahun lamanya itu tidak pernah ia buka, karena jelas lipatan-lipatan kertas putih itu berasal dari seseorang yang tidak ia inginkan dalam hidupnya.
Setelahnya, Hindia menekan salah satu tombol di telpon rumah, karena lampu merah kecil berkedip, mengisyaratkan ada pesan suara yang masuk.
"Keluarga Adiputro, silakan tinggalkan pesan setelah kata Bip!"
"Hallo, ini Kak Kafi. Tadi kakak telpon kamu, tapi kamu gak angkat telpon kakak di panggilan kedua, sepertinya kamu sibuk, baguslah,"
Pesan suara itu masih bersuara. "Tadi Pak Ber telpon kakak. Beliau bilang, jika rasanya kamu tidak serius mengikuti program, karena tidak mengerjakan tugas yang ia berikan. Kakak harap kamu segera kerjakan dan kirim tugasnya,"
Suara berat khas Kak Kafi, tidak pernah bisa Hindia lupakan.
"Satu lagi! Kamu jangan bikin ulah lagi. Jangan sering-sering candain Pak Ber! Oke!"
NUTTT NUTT NUTT
Denyut panjang mengakhiri pesan suara itu. Hindia menarik napas panjang, membuangnya dengan berat.
🐚
Pertanyaan demi pertanyaan berputar meriah di kepala Helia. Sudah seperti banyak burung biru terbang mengelilinginya. Termasuk, sebuah burung dengan cuitan mengapa ia harus ikut makan malam keluarga kali ini.
Makan malam kemarin saja terasa buruk. Kali ini akan buruk tentunya.
Lihat bahwa Tuan dan Nyonya Halo hanya fokus pada beberapa suapan terakhir, sementara Helia malas makan. Makanannya sudah dijadikan mainan menghabiskan waktu.
Di suapan akhir, Nyonya Halo menatap suaminya, sungguh tajam hingga membuat Tuan Halo membalas tatapan penuh tanya. Kedua bola mata Nyonya Halo digerakkan ke kiri, agar suaminya dapat membuka obrolan dengan Helia, yang berada di kanan Tuan Halo. Tuan Halo mengerti aba-aba tersebut.
"Eumm, Nak."
Helia melihat ayahnya. Hanya tampang datar tiada ekspresi apa-apa yang dilihat dari kedua bola mata Tuan Halo.
"Bagaimana hari pertama di sekolah?"
Jangankan mendengar suara, bibirnya saja masih saling bertemu. Helia segan berbicara.