Anuhea masih menyembunyikan senyumnya, tapi rasa penasaran perlahan menguasai dirinya. Dia menatap Esta lagi, masih dengan keraguan. "Anti-mainstream? Maksudnya... gimana?"
Esta tersenyum, teringat memorinya dengan Cherry yang, walaupun disebut "sahabat," ternyata justru berakhir menusuk dari belakang di masa depan, walau belum terjadi. Mungkin itulah alasan ia ingin menghindari orang-orang yang selalu terlihat "sempurna." "Ya, kamu beda. Maksudku, kebanyakan orang nggak akan duduk di pojok kelas sambil baca buku tebel kayak gini, apalagi tanpa basa-basi sama sekali sama yang lain."
"Aku... lebih suka gitu," Anuhea mengakui, meski suaranya masih rendah. "Nggak ada yang harus diperhatikan... nggak ada yang peduli juga, kan?"
Mendengar itu, hati Esta terasa sedikit terusik. Bagaimana mungkin seseorang merasa begitu tidak terlihat padahal dia ada di depan mata? "Hei, kamu tahu nggak," ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Anuhea, "aku duduk di sini sekarang dan menurutku kamu seru kok diajak ngobrol."
Anuhea mengernyit sedikit, masih ragu. "M-masa sih? Bukannya kamu biasanya ngobrol sama Cherry sama... teman-teman yang lain?"
"Hmm, mereka cuma... orang-orang berisik aja," ujar Esta, mengangkat bahu. "Kadang, aku pengin ngobrol sama orang yang nggak bikin pusing. Kamu pernah nggak, ngerasa capek sama dunia?"
Anuhea tampak terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Esta. Orang sepopuler dia, merasa capek? "Mungkin... tapi... kamu, kan... selalu punya teman."
"Hmm, kadang teman cuma formalitas aja. Nggak selamanya orang-orang di sekitarmu beneran peduli." Mata Esta menerawang sebentar, sebelum kembali memandang Anuhea. "Tapi hari ini, aku pengen kenal kamu lebih dekat. Gimana kalau... kita ngobrol kayak gini lagi lain waktu?"
Anuhea menunduk, sedikit tersipu namun akhirnya mengangguk. "I-iy... iya, Esta. Kalau kamu mau."
Detik itu, seakan untuk pertama kalinya, Anuhea merasa bahwa dia tidak sepenuhnya tak terlihat.
----
Di perpustakaan, Esta menyusuri deretan buku dan rak-rak tua dengan sentuhan nostalgia. Suasana tahun 2004 terhampar di hadapannya: lembaran majalah remaja dengan tren fashion ketinggalan zaman, kursi-kursi kayu berderit yang sudah familiar, hingga aroma khas buku-buku lama yang perlahan membawa ingatannya mundur ke belakang. Meski ingatannya dipenuhi masa depan yang lebih maju, ada perasaan hangat yang membuatnya tetap nyaman di sini, seperti kembali ke tempat di mana semuanya bermula—sebelum segala kekacauan dengan Rhys dan Cherry.
Dia tertawa kecil sambil menghirup dalam-dalam bebauan familiar dari buku bacaan yang sedang dia pegang dan bersandar di kursinya, menertawakan pikirannya yang sudah berkeliaran ini.
"Liki."
Esta mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia pegang ketika sosok tinggi yang cukup familiar mendekat, dengan sikap sedikit canggung. Rhys, pria yang selalu terlihat penuh percaya diri di masa depan, sekarang tampak kebingungan. Dia jelas berharap bisa menangkap tatapan memuja dari gadis berkacamata ini—tatapan yang dulu selalu dia peroleh tanpa perlu usaha.
“Liki?” panggil Rhys pelan, nyaris tidak yakin pada nada suaranya sendiri. “Kamu... serius nggak nge-chat aku kemarin?” Suaranya terdengar seolah meminta jawaban yang ingin dia dengar, bukan sekadar basa-basi.
Heh, jadi sekarang Rhys peduli dengan perubahan kecilnya? Ular berwujud kucing ini mencoba menuntut sikapnya yang dulu? Oh, tidak bisa~
Esta menahan tawa getirnya sambil mengangkat bahu. Ini terasa aneh, melihat Rhys yang masih polos di hadapannya, tidak tahu bahwa di masa depan, dia adalah orang yang merusak hati Esta dengan begitu brutal. Dia menganggukkan kepala seadanya, berusaha tak terlalu peduli. “Oh, iya, sorry. Kemarin aku sibuk aja.”
Rhys terdiam, matanya menyipit seperti berusaha mencari kepastian. "Kamu... beneran sibuk, atau ada sesuatu yang salah? Maksudku, biasanya kamu selalu cerita kalau ada apa-apa." Rhys menatapnya dengan kehangatan yang begitu kentara, mencoba menangkap lagi hubungan tak berdefinisi mereka yang dulu terasa dekat.
“Lagi kepikiran banyak hal aja.” Esta mengalihkan pandangan, tetap tenang. Sungguh berbeda rasanya, melihat Rhys dengan mata yang sudah lebih dewasa, sadar akan setiap manipulasi kecil dan harapan-harapan semu yang dulu selalu dia gantungkan pada pria ini.
Rhys menatapnya, semakin bingung. Dia mungkin tidak tahu bahwa Esta bukan lagi Liki yang dulu memuja setiap senyum dan perhatiannya, yang akan antusias mendengarkan setiap kalimat dan untaian cerita dari bibirnya.
Rhys tidak menyerah begitu saja. Dia maju selangkah, memasuki ruang privasi Esta, meskipun gadis itu mencoba mengabaikannya dengan membuka-buka halaman buku yang bahkan tidak dia baca.
“Liki, please. Ada apa, sih? Kamu kayak orang lain sekarang. Apa aku salah ngomong atau gimana?” Suaranya penuh nada memohon yang tidak biasa. Biasanya, Rhys adalah sosok yang selalu tahu caranya membuat Esta lengket padanya—seperti gravitasi yang tak bisa dihindari.
Tapi kali ini, Esta menghela napas dalam-dalam, dan matanya menatap tajam. "Rhys, bisa nggak, ya, kamu biarin aku sendiri dulu? Aku cuma mau sedikit tenang di sini."
Rhys terkejut. Itu bukan kalimat yang biasa dia dengar dari Liki—Liki yang biasanya malah mencari perhatian dan kehadirannya. Seolah tak tahu kapan harus berhenti, Rhys mendekat lagi, bersandar ke meja perpustakaan dengan ekspresi penuh keraguan dan sedikit terluka.
“Tapi… kita kan ‘teman’,” ucapnya, dengan tekanan pada kata “teman,” mengingat status TTM mereka yang selama ini menjadi benang pengikat. "Kamu nggak biasanya kayak gini sama aku.”
Esta menyandarkan punggungnya, lalu menatap Rhys dengan senyum dingin yang tak bisa dia kendalikan. “Iya, kita ‘teman’,” ucapnya, dengan penekanan yang sama, “dan teman kadang butuh waktu sendirian, Rhys. Kalau kamu nggak ngerti itu, mungkin kamu yang harus mikir ulang apa sebenarnya yang kamu mau dari aku.”
Rhys tampak terperangah, jelas tidak menyangka respons itu. Biasanya, Liki adalah gadis yang selalu siap membagi waktunya dengannya, tak peduli apapun yang terjadi. Untuk sesaat, dia tampak ragu, lalu kembali bertanya, lebih lembut, “Kamu yakin nggak ada yang salah, Liki?”
Esta memejamkan mata sejenak, merasakan perasaan yang menumpuk di dalam dirinya. Di masa depan, pria ini adalah luka, adalah racun yang pernah ia telan mentah-mentah tanpa menyadarinya. Tapi di sini, dia hanyalah seorang anak muda yang bingung dengan perubahan di antara mereka.
“Aku baik-baik aja, Rhys,” jawabnya akhirnya, dengan nada yang lebih tenang tapi dingin. “Tapi kalau kamu terus maksa, aku bisa berubah pikiran. Tolong pergi sekarang.”
Rhys menatapnya, masih tidak mengerti, sebelum akhirnya menyerah dengan desahan panjang. “Oke… kalau kamu maunya gitu,” gumamnya sebelum mundur dan melangkah keluar dari perpustakaan dengan tatapan campur aduk yang tidak bisa dia sembunyikan.
Begitu Rhys pergi, Esta menarik napas dalam-dalam, membiarkan perasaan lega meresap di dirinya. Meski sulit, dia tahu bahwa untuk melangkah maju, cewek itu perlu menggenggam kendali atas dirinya dan tidak membiarkan masa lalu yang menyakitkan itu kembali menghantui.
"Ini nggak akan mudah," desahnya.
TBC
Double up, seneng kan lu semua🗿
Silakan tebar komen sepanjang part ini✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Axiomatic, Mr. Tsundere!
Romance#Fiksiremaja #Femdom #Malesub "Every gesture, every half-hearted smile... they were all plans that slowly brought me closer to you." -∆- Apa jadinya jika kamu lompat ke 12 tahun lalu karena mati konyol kelelep kubangan tai sapi karena ulah selingkuh...