Halo, terimakasih untuk tidak menjadi silent reader.
—
Arin, sebut saja begitu. Perempuan berambut panjang sepunggung yang sedang mendengar Bed Chem milik Sabrina Carpenter melalui airpods-nya. Arin sesekali membuat wajahnya yang sedang bercermin terlihat aneh, beruntungnya itu tidak mengikis kecantikannya.
Melainkan tampak normal—itu tak pasti.
Kereta yang Arin tumpangi melaju kencang melalui terowongan menuju Edinburgh Gateway, tempatnya transit nanti. Di tangannya ada buku jurnal yang bertuliskan Katarina, nama cantiknya sendiri.
Bagaimana menjelaskan tentang hari ini, Arin—nama pendek Katarina—juga tak tahu. Diusir dosen karena baru masuk kelas menjelang 5 menit mata kuliahnya berakhir, dan kelaparan karena dia kehabisan saldo di dalam e-money atau ponsel yang baterainya habis.
Hanya Ipod-nya yang menjadi satu-satunya benda yang bisa menyelamatkan Arin hari ini.
"Eh, oh my." Arin menggerutu ketika dia teringat jika termos kesayangannya tertinggal di loker kampus. "Bodoh, tolol."
Terimakasih dan berkat dari tontonan drama perselingkuhan semalam, Arin harus mengawali paginya dengan terlambat.
Pintu gerbong terbuka, mengundang Arin turun dari kereta untuk pulang saja. Perutnya berteriak kelaparan, apalagi begitu wangi kopi yang begitu fresh menusuk hidungnya. Arin menoleh, menemukan kedai kecil yang menyediakan Coffee Bun. Tampak seorang lelaki asia yang berkulit putih dengan penyuara telinga berkabel sedang menunggu roti miliknya.
"Bisa utang dulu gak, ya?" Gumam Arin diambang kelaparan bahkan ingin berbaring di atas jalan itu.
Arin mendekat, memperhatikan roti-roti di atas etalase dan lelaki penyuara berkabel. Cukup lama, bahkan berhasil membuat lelaki tersebut menyadari kehadiran bayangnya.
Lelaki itu menoleh, menatap Arin kosong sedikit heran.
Arin menunduk, memainkan sepatunya di atas tanah dan menyadari bahwa harinya sedang diterjang badai. Memang benar, tidak ada yang dapat membuat harinya buruk kecuali lapar.
"Terimakasih." Lelaki itu berucap sebelum pergi bersama 4 paperbag Coffee Bun yang dibelinya.
Belum sempat meninggalkan gerai, dia berhenti di depan Arin lalu menyodorkan 2 paperbag roti miliknya. Arin terkejut, merasakan semerbak wangi Coffee Bun yang lebih mencolok.
"Ini—"
Arin tidak dapat melanjutkan tanyanya karena lelaki itu meraih tangannya untuk menggenggam paperbag. Tanpa berucap sepatah kata, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan Arin yang kebingungan.
Mata Arin mengintip semua paperbag, dan hanya ada satu Coffee Bun. Satunya lagi seperti paperbag cantik berisikan peralatan tulis, dan—secarik surat.
Selalu bahagia. Makasih untuk semuanya, Vic.
Arin berpikir sejenak, lalu menyadari bahwa lelaki itu pasti salah memberikan sumbangan untuk wajah dan tubuhnya yang tampak kelaparan. Ia segera berlari menuju arah lelaki itu, meski ia sudah menghilang dari pandangan Arin.
"Tunggu, hei!"
Selagi berlari, Arin kembali melihat nama yang mungkin saja adalah nama lelaki itu. Langkah Arin melambat, dengan nafas kelaparan yang masih terhela.
Steve.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDINBURGH
FanfictionPerihal kasih di antara Steve, Katarina, dan Kota Edinburgh. © 2024 PARK SUNGHOON & KARINA ー Alternative Universe