Love Somebody

61 15 4
                                    

Jayden

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jayden

Victoria

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Victoria

Cerita perantauan Steve di Edinburgh ternyata harus diselingi oleh kisah patah hati pertamanya. Isn't that hard for a person like him, but—ada saja sensasi kesal yang mengharuskan Steve menyalahkan dirinya sendiri.

Lelaki berparas dingin dan tenang itu tampak memasuki gedung Fashion Design dengan 2 buah paperbag yang—well, dia sepertinya gak tahu apa yang sebenarnya terjadi tepat sebelum dirinya memasuk Edinburgh Gateway tadi.

Namun masih ada hal yang mungkin bisa dibilang keberuntungan kecil bagi Steve. Matanya yang tenang itu diam-diam terbelalak ketika menyadari jika paperbag yang niatnya diberikan untuk Vicky—Victoria, mantan kekasihnya—berisikan Coffee Bun. Bukan hadiah yang khusus dibelinya.

Steve meruntuki kekesalannya, memutuskan berbalik meninggalkan gedung Fashion Design. Tatapannya yang menjadi tajam karena tidak mungkin memberikan Vicky sebuah roti untuk ucapan perpisahan.

Usai keberuntungan kecilnya, tak sengaja Steve melihat gadis yang niatnya ia temui turun dari mobil bersama lelaki lain. Nafasnya terhela berat, gak mungkin Vicky bisa bertahan dengan orang seperti dia di tengah gempuran lelaki yang lebih menarik.

Steve mengambil jalan yang lebih jauh dibanding harus bertemu Vicky dan teman-temannya yang akan mengejek berkedok candaan karena sudah dicampakkan.

Dalam perjalanannya, Steve mengeluarkan ponsel lalu melihat panggilan tak terjawab serta pesan dari Jayden.

Lo gak masuk kelas?

Steve diam, merenung, tidak membalas, lalu mematikan ponselnya dan terus berjalan. Berjalan hingga mencapai stasiun untuk menemani dirinya sendiri.

Bak kosong saja, Steve seperti masa bodoh dengan semuanya bahkan tidak terlalu menyadari jika badannya sudah ada di dalam kereta yang mulai melaju. Netranya yang khas hanya bisa melihat keluar, menemukan rintihan air dari langit yang membasahi Edinburgh.

Oke, sebenarnya Steve ingin segera pulang. Namun jiwanya seperti ingin mampir Edinburgh Gateway—tempatnya membeli Coffee Bun tadi—dan menemukan cara untuk lelah.

Suara tersiar bahwa stasiun berikutnya adalah Edinburgh Gateway, mengundang Steve mendekati pintu gerbong, lalu menyambut angin stasiun yang menyapu wajahnya. Kakinya terus melangkah, melihat ke sana ke mari guna menentukan apa saja hal yang bisa menemaninya.

"Hei, Steve?"

Lelaki itu diam, lalu menengok ke belakang. Perempuan tadi, yang dia beri roti dan hadiah untuk Vicky. Pakaiannya sudah berubah lebih santai, rambutnya terkepang dua cabang, dengan suara yang sedikit aneh entah karena itu adalah suara yang sebenarnya atau karena Arin sedang flu.

Ya, dia Arin.

"Gue mau bilang makasih karena tadi lo udah kasih roti, gue lapar banget sumpah." Arin terdengar santai, dan aneh karena Steve tidak kenal Arin. "Ini, kayaknya lo gak sadar lo kasih gue ini."

Steve diam, melihat Arin lalu paperbag untuk Vicky. "Oh, ambil aja."

"Gimana?"

"Ambil, gue gak butuh."

"Gue juga gak butuh ini, kocak. Lo kira gue tempat sampah apa? Gue tau tadi gue jelek lapar tapi gak usah gitu juga dong."

Dahi Steve mengernyit, baru menemuka perempuan galak seperti Arin.

"Emang tadi rotinya harga berapa? Gue ganti deh."

"Emang gue minta ganti? Gue kasih."

"Ah, arogan betul. Iya sih oke, lo ganteng. Tapi maaf, gue anaknya gak gampangan." Kesal Arin lalu mengeluarkan lendir dari hidungnya yang kemerahan dengan sapu tangan. Karena Steve hanya diam, Arin semakin kesal kemudian meletakkan paperbag itu dan berbalik untuk meninggalkan Steve.

Dada Arin naik turun, sebal karena orang selalu menganggapnya remeh. Apalagi orang seperti Steve, orang yang gak Arin kenali.

Dada Arin semakin sesak begitu menyadari jika di luar Edinburgh Gateaway sedang hujan deras, dan dia tidak punya payung. Arin berjongkok di samping pilar yang menyokong langit-langit, menangisi harinya yang berantakan.

Tadinya Arin dapat merasakan tetesan air sedikit menerjang tubuhnya, namun kini itu seperti berhenti. Padahal hujan masih menggerayangi Edinburgh. Arin mendongak, menemukan payung, kilatan cahaya, dan Steve yang berdiri tanpa bersua.

EDINBURGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang