The Only Exception

41 11 11
                                    

Tak pernah terbayangkan oleh Steve, jika akan ada sehari dalam hidupnya berakhir di tempat tinggal Arin. Dalam kehangatan yang dibuatnya di tengah musim dingin itu, Steve duduk di sudut ranjang Arin. Tubuh kokohnya bersandar pada dinding, sementara si gadis terlelap di antara tangan dan pinggangnya. Sesekali Steve menepuk-nepuk pelan bahu Arin, setidaknya membuat ia merasa tenang dalam istirahatnya.

Jam dinding telah menunjukkan pukul 1 dini hari, namun Steve tak begitu menghiraukan waktu. Dia hanya akan selalu terbayang akan kemunculan seorang Arin ceroboh dan mandiri melalui kejadian yang tak terencanakan. Ceritanya klise dan mungkin saja akan ada yang mengalami hal sama dengannya di Edinburgh, namun Steve sangat menghargai kisah ini dalam harinya.

Wajah Arin masih sembab, dengan mulut yang sedikit terbuka, juga helaan-helaan kecil di setiap nafasnya. Ia terlihat sangat lelah. Steve yang menyaksikan itu secara tak sadar menyunggingkan senyum tipisnya, begitu tipis dan tersudut, tetapi baginya, Arin sangat lucu dan elok.

Dengan satu tangannya, Steve meraih kedua tangan Arin untuk dihangatkan. Suhu tubuh Arin sendiri sudah normal, namun Steve ingin saja melakukan itu.

"Steve."

Lelaki itu menunduk, menatap wajah Arin kebingungan karena mungkin saja Steve sedang mendengarnya mengigau.

"Steve."

Kini panggilan Arin benar-benar ada, karena ia membuka matanya sebentar lalu terpejam lagi. Steve lantas menjawabnya singkat, "hm?"

"Makasih, ya."

"Buat?"

"Lo udah nemenin gue, mana gue daritadi nangis terus. Ew, jelek banget kan muka gue jadi bengkak."

Steve terkekeh. Arin reflek membuka matanya lagi untuk memastika jika lelaki itu memang sedang tertawa kecil saat ini. Well, Steve tidak sekaku yang Arin bayangkan. Terjawab atas sikapnya hari ini.

"Maaf ya, udah merepotkan."

"I'm okay with that, santai aja." Bariton suara Steve merendah, sembari jemarinya memainkan rambut hitam Arin yang panjang. "Gue boleh tanya sesuatu?"

"Ya, silahkan."

"Nama lengkap lo, siapa?"

"Jane Katarina Yu."

"Eh, cantik juga ya."

Arin tertawa, baru kali ini ada yang memuji namanya yang biasa saja baginya. "Gimana sama lo? Steve siapa?"

"Steve Hiro Park, tapi lo tau gak? Gue pure Korean, dan gue punya nama Korea."

"Oh ya? Siapa?"

"Sunghoon."

"Sunghoon? Jadinya Park Sunghoon, kan? Ih keren banget gak sih? Pantas aja lo keren."

Sifat blak-blakan Arin ternyata mampu membuat Steve kembali tersenyum untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba Steve teringat sesuatu, lalu bertanya pada Arin. "Lo—gak lapar?"

Arin mendongak, menatap wajah Steve dengan mata bulatnya. "Lo sendiri gimana?"

"Gue gak—" awalnya hendak membantah, namun suara perutnya yang berteriak kelaparan dan lantang membuat Arin terkekeh. Steve memejamkan matanya karena cukup malu untuk ini.

Arin lantas bangkit sembari menguncir rambutnya. "Mau makan mie instan, gak? Soalnya untuk sekarang gue cuma punya itu. Aduh, maaf ya gue lagi miskin hari ini. Lo sih, mau bertamu malah gak bilang dulu."

Steve yang ikut duduk hanya melihat Arin dengan senyuman.

"Ups, sorry gue anaknya bawel banget."

"Gak apa-apa, tadi gue udah pesan makanan. Kayaknya beberapa menit lagi udah sampai."

"Emang masih ada yang buka, ya? Yang dekat dari sini, bukanya gak 24 jam."

"Gue cari yang 24 jam."

Tok tok!

Steve dan Arin melihat satu sama lain, tanpa beraba-aba berjalan bersama menuju pintu utama apartemen Arin. Begitu dibuka, itu adalah kurir makanan yang tadi di pesan Steve via daring. Arin yang melihat banyak makanan tampak begitu bahagia, membawanya bersama Steve menuju ruang tengahnya yang kecil usai lelaki itu memberi tip pada pengantar.

"Steve, split bill kan?"

Reflek Steve menghentikan pergerakannya dan menatap Arin heran. "Jangan, lah. It's on me, just eat without asking about the bill. Paham?"

"Aduh, jadi enak." Canda Arin, meski hatinya keberatan karena seharusnya dia yang merajakan Steve sebagai orang yang bertamu di kediaman kecilnya. "Lain kali, gue yang traktir ya. Thanks!"

"Iya." Steve meletakkan semangkuk Chinese Food yang beruntungnya masih terasa hangat di depan Arin. "Kalau bisa, dihabiskan ya."

Arin mengangguk, merasakan hormon yang tertanam dalam tubuhnya meningkat dalam level kebahagiaan. Gadis itu terlihat lahap, mengundang perasaan lega pada Steve karena Arin bukanlah seorang yang picky-eater. Toh, teringat dalam benaknya wajah Arin saat di depan kedai Coffee Bun kala itu. Sepertinya Arin memang sangat suka makan.

Selagi menikmati sukacita mereka, mata keduanya tak sengaja melirik ponsel Steve yang berdering. Secara bersamaan pula, mereka berhenti bergerak dan mengenyam makanan masing-masing.

Panggilan dari Victoria, entah untuk apa ia menelepon Steve di saat-saat seperti ini. Tentunya Arin ingat siapa Victoria, orang yang seharusnya memiliki hadiah dari Steve alih-alih hadiahnya berada di tangan Arin untuk beberapa saat. Suasana menjadi canggung, namun Steve tampak tenang melanjutkan makanannya.

"Steve."

"Hm." Dehemnya selagi melirik Arin sesaat karena sedang menikmati side dish-nya yang renyah. Steve lantas membalikkan layar ponselnya ke bawah, pertanda memang tak berniat menjawab.

"Gak apa-apa?" Tanya Arin berhati-hati.

"Gak apa-apa. Makan lagi, ini udah gak penting juga."

Mulut Arin membentuk huruf O, berlanjut dengan mengembalikan nafsu makannya yang sempat menurun saat mengingat gadis populer asal Fashion Design itu.

EDINBURGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang