APT.

50 14 4
                                    

Arin mengerjapkan matanya, melihat langit-langit kamar dengan kondisi badan yang kurang menyenangkan. Hal yang paling pertama terlintas di benak Arin adalah kejadian semalam.

Kejadian yang seharusnya Arin-gila-sinting tidak lakukan. Dengan sweater yang kebesaran dan miring ditubuhnya, Arin bangkit sekaligus memukul-mukul kepalanya, mengingat hal yang cukup memalukan dan berharap jika dia dan Steve tidak akan pernah bertemu lagi.

***

"Lo darimana aja kemarin?"

Pertanyaan yang Jayden lontarkan pada Steve yang baru saja meletakkan ranselnya di atas meja tidak dijawab begitu saja.

"Lo tuli ya?"

Steve melirik sebentar, lalu membuka ransel hijau kecokelatan itu. "Gak enak badan."

"Yah, sialan. Segitu doang jawabnya, gue kira lo ada accident di jalan."

Tangan Steve sempat terhenti, seperti mengingat sesuatu dan Jayden tahu itu. Namun Steve kembali melanjutkan pergerakannya dengan mengeluarkan jurnal dan bolpoin.

Kelas hari ini berjalan cukup baik bagi Steve, namun tidak bagi Jayden. Kelas Migrasi Global sama sekali bukan kelas yang disukai bahkan jika saja dunia perkuliahan ini bisa melewatkan satu kelas, maka Jayden akan memilih itu.

"Dosen ini—ayah dari pacar barunya Vicky, kan?"

Pertanyaan Jayden mengundang kekesalan pada Steve namun dirinya berusaha tidak mengindahkan itu. Kalau dibandingkan, Jayden tampak sedingin Steve tapi mulutnya lebih aktif berbicara.

Toh, Steve memang fasih berbahasa sunyi, alias hemat berkata.

Usai menghabiskan waktu sejam lebih, pengajar mengakhiri pertemuan kali ini dan meningkatkan hormon kebahagian Jayden. Lelaki itu tersenyum riang yang menarik perhatian beberapa mahasiswi lokal Edinburgh. Wajar saja, apalagi Jayden selalu bersama Steve yang jika saja handal berkata, maka akan memiliki banyak wanita.

Well, jika saja.

Selepasnya, Steve dan Jayden keluar dari ruangan menuju kafetarian sekadar menunggu kelas selanjutnya. Keduanya teringat, jika malam nanti keluarga mereka mengadakan acara pertemuan antar pengusaha sukses Asia yang tinggal di Edinburgh.

"Lo ikut, kan? Secara—lo absen 3 kali pertemuan. Papa lo pasti sebal." Cerca Jayden.

"Maybe."

"Bareng aja, mau gak?"

"Lo udah beli mobil?"

Jayden mengangguk. "Kemarin, sih. Papa lo gimana? Katanya udah ada dua hari yang lalu?"

"Gak tahu, nanti gue bahas sama papa."

Saat hendak berbelok di penghujung koridor, Steve secara gak sengaja menabrak seorang perempuan dengan hair bun tebalnya. Orang itu meringis, mengusap dahinya yang tadinya membentur dada Steve.

"Kalau jalan yang pelan—"

Arin terdiam, menemukan kehadiran Steve dan Jayden yang juga diam di depannya. Arin merasa bibirnya kelu, dihadapkan dengan ingatannya akan kebodohan semalam.

"Rin." Jayden memanggil Arin, yang disambung senyum kikuk dan canggung. "Lo kuliah di sini?"

Diam-diam Arin menghela nafas berat. "Iya."

"Mama papa, gimana kabarnya?"

Steve melihat Jayden, seolah bertanya kenapa mereka bisa akrab. Jayden lantas menekankan jawaban, "kita pernah—pernah pacaran."

Steve semakin terkejut, tidak percaya bahwa mantan dari temannya baiknya adalah—orang gila yang pergi meninggalkannya di bawah payung setelah mengecup singkat bibirnya, semalam.

EDINBURGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang