Miss You Like Crazy

49 10 16
                                    

Halo, peeps.
FYI, EDINBURGH diperbarui tiap hari loh.
So, apa ada yang sering ketinggalan bagian baru?
Jika iya, kalian bisa follow aku terlebih dulu.
Nanti setelah EDINBURGH tamat, feel free to unfollow!
And feel free to ask to be a mutual, too💗

Apa yang telah Steve lalui selama beberapa waktu belakangan membuat lelaki itu bingung pada dirinya sendiri. Kegelisahan, cemas, hal-hal yang bahkan tak pernah Steve rasakan sebelumnya. Seperti yang saat ini terjadi, saat di mana Jayden—sahabatnya—sudah sadar sejak kemarin bila ada yang berbeda dari Steve.

Ia selalu saja menyempatkan diri melalui pekarangan Fakultas Seni Rupa dan Desain, fakultas yang jaraknya tak dekat dari fakultas keduanya. Yang Jayden ketahui pun, itu adalah fakultas yang menaungi Arin.

Saat kelas telah usai, Jayden melihat Steve mengemas barang-barangnya sedikit cepat lalu menyampirkan ranselnya pada bahu kanan.

"Langsung pulang?" Tanya Jayden yang diangguki Steve. "Gak ke Ben? Kan dia ajak buat ke apartemennya."

Steve seolah berpikir sejenak, lalu menjawab dengan singkat. "Lain kali, gue duluan."

Jayden melihat Steve lalu pergi usai berpamitan, tak juga berkata ingin pulang saja. Jayden harap, bahwa perkiraannya tentang Steve tampak berbeda usai berkenalan dengan Arin itu hanya sebatas prasangka.

Di sisi lain, Steve yang tengah melangkah menuju area parkiran mobil tampak terhenti ketika seseorang bak mencegatnya. Steve mengalihkan pandangan dari tanah, lalu mendongak dan menemukan Vicky dengan baret pink pastel-nya. Dalam sekejap Steve mengetahui, bahwa baret itu adalah pemberiannya setahun lalu.

"Hai, Steve." Vicky menyapa dengan tersenyum tak lupa melambaikan tangan dengan kecil. "Kebetulan banget gue mau visit ke fakultas lo."

Lelaki tersebut mengangguk paham. "Oh, iya."

"Lagi kosong gak?"

"Mau pulang dulu." Steve berlalu melewati Vicky yang senyumnya memudar dalam hitungan detik. "Duluan."

Sikap Steve yang tak seperti seminggu lalu membuat Vicky mendengkus remeh, memandangi Steve yang benar-benar pergi tanpa melihat sedikit pun ke arahnya.

* * *

Langit siang di atas sana menunjukkan jika waktu telah memasuki kenangan sore. Dan sudah beberapa jam juga, Steve menunggu di dalam kendaraannya pada area parkir mobil Fakultas Seni Rupa dan Desain. Namun waktu tak dapat menjawab kemunculan Arin yang diharapkan Steve.

Tampaknya untuk kali ini Steve ingin menyerah, mungkin saja lain waktu. Mungkin saja.

Ketika hendak menjalankan mesin Jeep-Rubicon itu, Steve tak sengaja melihat seseorang yang tak asing. Saat memincingkan mata dan berusaha menerka, Steve terpikirkan seorang teman Arin yang juga hadir di pesta milil Vicky beberapa hari yang lalu.

Steve segera turun dari mobilnya, lalu menghampiri Giena—alias Gige, tentu saja—yang tengah berjalan keluar dari dalam gedung.

"Ehm, hai."

Giena, si gadis dengan gaya kasual klasiknya berhenti saat menyadari ada seseorang yang menghampirinya. Di samping Giena ada seorang gadis pula yang ikut terkejut, menatap Steve dengan side eye.

"Gi, siapa?" Tanya gadis itu, yang sedang merangkul jurnal dengan nama pemilik, Nina.

Mata Giena memandangi dari atas hingga bawah, lalu melihat Steve dan menyadari bahwa lelaki itu adalah orang yang membawa Arin tempo hari. "Oh, hahaha! Cari Arin, ya?"

Awalnya Steve agak berat menjawab karena Giena bertanya dengan suara lantang. Namun mau tidak mau Steve mengangguk.

"Arin gak masuk, masih istirahat sampai besok."

Steve mengangguk lagi, kikuk sekaligus bingung harus bertanya apa dan pada siapa lagi. At least, dia tahu keadaan Arin. Sedikit.

"Ke apart-nya aja, gak jauh banget kok."

Steve semakin canggung karena Giena tak bertele-tele. Bahkan tanpa bertanya, Giena kembali berucap dengan tegas.

"Dia tinggal di Gedung Doom, Jalan Saint Andrea, lantai 7, nomor 7C. Ketuk aja 3 kali, dia langsung bukain pintu kok. Maaf ya gak bisa temenin, gue lagi urus cuti soalnya."

Giena menjelaskan semua secara singkat, padat, dan jelas meminta Steve melakukannya sendirian. Jika lelaki itu memang mau. Steve memaksakan senyum tipisnya, lantas membiarkan Giena dan Nina pergi lebih dulu.

Dengan langkah yang lesu, Steve kembali ke dalam mobilnya. Nafasnya terhela berat, lalu melihat pada kursi penumpang. Apa iPod itu dapat menjadi alasan terakhir Steve untuk bertemu dengan Katarina?


Nina

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nina

EDINBURGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang