Young Dumb & Broke

52 11 9
                                    

Cukup lama Steve menatap Arin dalam hening, sama seperti kebiasaanya yang terdiam dalam sunyi. Hari ini, bukan hanya pesan yang tak terbalaskan oleh Arin, tetapi hidung gadis itu terlihat semakin kemerahan di atas bibir yang memucat.

"Get sick, don't you?"

Awalnya Arin terdiam karena gejolak rasa bersalah terus membucah dalam dirinya dikarenakan Arin tahu, Steve mengiriminya pesan agar bisa mengembalikan iPod-nya tempo hari.

Namun, Arin tetaplah Katarina yang tak peduli dengan entitas lain selain dirinya, hidupnya, dan nafasnya. Akhirnya Arin berlagak dungu usai menyadari jika tugas Material Interiornya telah rampung dan tersimpan dengan baik di perangkat komputer tablet-nya.

"Eh, Steve. Lo di sini jug—"

"You kissed me."

Reflek Arin melotot dan meletakkan barangnya sebelum bangkit. "Please, jangan dibahas di sini." Bisiknya dengan suara yang semakin sengau dan dalam. "Okay, maaf atas kegilaan gue saat itu karena gue gak bermaksud seperti itu. Lo tahu? Gue ini orang gila."

"Dan kenapa lo bisa ada di sini? Bukannya kemarin gue udah kirim pesan dan lo malah—"

"Hei." Sontak Arin meremas bahu Steve untuk mengisyaratkan dia berhenti berbicara ketika Jayden datang dan menyapa. Hal itu tentunya membuat Jayden sedikit bingung, namun ditutupinya dengan rasa cemas.

Karena dia baru tahu Arin mau datang ke tempat riuh seperti ini. Begitu Arin melepas genggamannya pada Steve, Jayden lalu melanjutkan. "Lo ngapain datang malam-malam ke sini? Bahaya, Yin."

"Biasa aja sih, soalnya gue cuma nemenin temen gue."

"Lo gak macam-macam, kan?"

Arin terkekeh, suaranya semakin-semakin-sengau. "Gue udah gede kali, tahu mana yang seru buat gue."

"Lo sakit?"

Arin terdiam, dan benci ketika harus bertemu dengan Jayden di saat-saat seperti itu. Dirinya berusaha terlihat baik-baik saja seraya mengemas barang-barangnya. Gige sialan, gue ditinggal selama ini. Batinnya.

"Kayaknya gue harus antar—" kata yang keluar dari mulut Jayden belum juga selesai ketika Steve memegang bahu Arin. Suasana semakin canggun untuk Arin begitu menatap Steve yang berkata, "gue antar ke klinik."

Kepala Arin mundur sedikit. "Gak usah kali, hahaha. Gue gak apa-apa, ini cuma flu biasa. Gue oke kok, gue fine fine aja."

"Tolak lagi atau gue bilang ke Jay?"

Sial, Steve mengunci Arin dengan ancaman itu. However, Arin masih tidak tahu ada apa dengan keadaan genting seperti saat ini. Toh, dia sama sekali tak akrab dengan Steve dan karena ulahnya di Edinburgh Gateaway, malam ini terasa semakin rumit.

"Steve, gue aja." Jayden menawarkan dirinya. "Lo tinggal aja di sini, nanti lo dicari sama yang lain."

"Gue aja, gue juga gak mau lama-lama di sini."

"Tapi kayaknya Ayin—"

"Gue bareng Steve." Sergah Arin menarik perhatian Steve dan Jayden. "Gue bareng—Steve aja."

Tidak ada hak untuk Jayden bahkan jika itu hanya khawatir. Apalagi Arin telah memperjelas jika dia memutuskan pergi bersama Steve. Sebelum benar-benar pergi, Giena datang dengan sekaleng soda yang sebenarnya hendak ia berikan pada Arin.

"Lo mau pulang?"

Arin berekspresi aneh pada Giena, seolah ingin mengutarakan bahwa Giena tak usah banyak bertanya. Untungnya, atau jeniusnya, Giena tak perlu penjelasan panjang lebar untuk sekarang.

Lebih anehnya, Giena tersenyum jahil apalagi Steve kini menggenggam tangan Arin.

"Gue pergi dulu, ya." Pamit Arin pada Giena yang dibalas cukup ceria, mungkin. Steve sendiri tak bergeming dan menarik Arin pelan untuk ikut bersamanya.

Giena lantas berseru sendiri melihat Arin yang semakin jauh. "Yep! Telepon kalau butuh!"

Mata Giena yang ikut tersenyum lalu melirik Jayden, melihat betapa datarnya lelaki itu membiarkan Steve dan Arin pergi. Juga tak jauh dari keduanya, si pemilik pesta—Vicky—tak sengaja menemukan peristiwa kecil yang melibatkan mantan kekasihnya itu.

EDINBURGHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang