Menjahit Luka

2 1 0
                                    

Mas Bima masih terlelap dalam tidurnya. Ku ambil tangan kanannya untuk memelukku, namun ia malah terbangun.

"Kenapa sayang?" tanya Mas Bima

Pertanyaan sederhana namun aku tidak bisa menjawabnya.

"Ada apa? Cerita sama Mas" pinta Mas Bima

Ia langsung menarikku dalam dekapannya.

Aku nggak tahu kalau Ibu tadi nggak bangun, apa yang akan terjadi setelahnya.

Tangisku pecah dalam dekapannya. Mana mungkin aku bisa cerita kalau tadi Arga mengancam dan memelukku. Sementara Mas Bima sangat mempercayai adiknya dan Ibu yang nggak tahu apa - apa. Pasti tidak akan ada yang percaya.


"Mas nggak akan paksa kamu cerita. Tapi tolong Di, jangan buat Mas khawatir" tutur Mas Bima

"Aku nggak mau tinggal disini kalau Mas Bima nggak dirumah" ujarku dengan penuh emosi

"Mau kamu gimana? Tetap tinggal di rumah Papa? Atau ingin punya rumah sendiri? Seperti kata Papa kamu?" tanya Mas Bima

Tangisku berhenti.

"Papa ngomong apa?"

Ternyata sewaktu bersepeda, Papa menyarankan agar kami tinggal terpisah dengan Ibu. Kalau Mas Bima keberatan menitipkan aku ke Papa, Mas Bima bisa membeli rumah sendiri. Pantas saja Mas Bima sikapnya beda setelah pulang bersepeda.



"Ibu jahat sama kamu?"

Aku menggelengkan kepalaku.


"Lalu apa? Bukannya kita sudah membicarakan ini sebelum menikah. Dan kamu nggak keberatan untuk tinggal bersama Ibu? Aku bisa belikan rumah seperti yang Papa minta, tapi apa kamu bisa jaga diri kamu dan anak kita? Bukannya Mas nggak percaya sama kamu. Tapi kalau dirumah Ibu ada Ibu yang akan jagain kamu begitupun dengan Arga. Arga sangat antusias loh menyambut keponakannya bahkan ia mau nganterin kamu kemanapun selama Mas nggak dirumah. Kalau di rumah Papa, kasian Mama. Mama sudah mengurus Ciko. Papa dan Mbak Alma kerja. Mas sudah minta Arga untuk jangan kerja dulu ia akan jagain kamu dan memastikan kamu baik baik saja selama Mas jauh dan ia nggak keberatan" sambung Mas Bima

Arga benar - benar manipulatif. Ia pandai memainkan peran.

"Mas Bima sayang sama aku?" tanyaku

Mas Bima tersenyum padaku.

"Pasti Mas sayang. Ayo tidur, besok Pagi kita berangkat Bogor buat acaranya Arga"


Pagi harinya sebelum aku berangkat ke Bogor untuk menghadiri wisudanya Arga, aku terlebih dulu bertemu Nada dan Mika. Anak Nada sudah lahir, perempuan cantik sekali. Mas Bima juga sangat antusias mengabarkan bahwa aku juga hamil.



Begitu Mas Bima keluar bergabung dengan Bimo dan Agas, mereka berdua langsung menodong ku perihal Arga. Mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa mantanku kini menjadi iparku.

Kabar menyedihkan berasal dari Mika. Ia harus ikut suaminya tugas diluar kota. Pastinya Mika akan jarang bertemu kami. Kalau bisa ketemu kemungkinan sebulan sekali. Sebab Mika harus tetap mengunjungi orang tuanya. Karena Mika anak tunggal.



"Di, jangan lupa kasih tahu Arga buat nggak upload foto yang ada kamunya" ujar Mika


"Iya Mik, aku udah pertegas ke Arga soal itu"


Mas Bima menyusulku dan mengajakku pulang untuk bersiap ke Bogor. Jujur aku tidak ingin ikut. Aku tidak mau menghadiri acara apapun yang berkaitan dengan Arga. Aku muak melihatnya. Apalagi ia sering memanfaatkan kebaikan Mas Bima.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pilihan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang