Untukmu, sang awan putih ...
Hai awan. Apa kabarmu? Kuharap kau baik baik saja.
Pertama kali aku mengenalmu, aku hanya bisa tertawa sinis.
Dengan namamu yang mirip dengan salah satu karakter favoriteku di salah satu anime koleksiku, aku bergumam.
Permainan macam apa lagi ini?
Lalu saat hari demi hari berlalu, tanpa sadar aku memperhatikanmu. Memperhatikan tindak tanduk mu. Bahkan mulai tertawa jika tanpa sengaja aku mengingatmu.
Aku mulai berfikir. Mungkinkah aku menyukaimu?
Namun, saat aku mulai berasumsi bahwa aku menyukaimu, sebuah fakta menghantamku. Telak. Tepat di ulu hati.
Kita berbeda keyakinan.
Setelah mengetahui fakta itu, aku hanya bisa tertawa lirih.
Apa-apaan ini? Gumamku perih.
Lalu aku mulai berusaha melupakanmu. Berusaha menjauhimu. Berusaha tak mengingatmu lagi. Berusaha membuang jauh jauh segala rasa di hati.
Tetapi lagi lagi takdir mempermainkanku.
Saat pembagian tempat duduk, entah mengapa kita selalu berdekatan, yang membuatku mau tak mau memperhatijanmu lagi.
Hei awan, aku masih ingat. Masih ingat kali pertama kau memanggilku. Pertama kali kau mengetahui namaku.
Lucunya, dari sekian banyak orang, hanya namaku yang selalu kau ingat.
Lalu hari demi hari kita mulai sedekat nadi. Aku mulai terbiasa mendengar nyanyian kecilmu yang membuatku berdebar-debar. Mulai terbiasa dengan suara beratmu ketika tertawa. Mulai terbiasa saat kau berhenti berbicara atay menyuruhku berhenti dari segala aktifitasku hanya untuk menyodorkan sebungkus good time atau go potato untukku. Mulai terbiasa dengan caramu mengajarkanku perihal matematika.
Namun takdir mempermainkanku lagi.
Faktanya, ternyata kau telah menyukai seseorang. Hatimu telah tertambat dengan seseorang.
Aku kalah sebelum berperang.
Namun aku masih setia menunggu. Masih menunggu walau tau benteng kokoh bernama takdir itu memisahkan kita.
Sampai akhirnya, karena sebuah kejadian kecil. Kita berperang dingin.
Hei awan, tahukah kau, hatiku sakit ketika kita bertingkah seperti dua orang yang tak pernah bertemu sebelumnya.
Hatiku sakit.
"Aku selalu kasih kamu apapun. Lalu kenapa kamu ga pernah."
Tahukah kau, aku tertohok dengan kalimatmu.
Ternyata aku memang tak cukup baik untukmu.
3 bulan berlalu, akhirnya entah kenapa kau mengajakku berbicara tanpa alasan yang jelas. Seolah kita tak pernah bertengkar sebelumnya.
Kita mulai dekat lagi. Lebih dekat dari sebelumnya. Bahkan ada yang pernah berkata kepadaku.
"Cuma kamu yang mengerti dia."
Aku hanya bisa tertawa mendengarnya.
Karena faktanya aku tak mengenalmu.
Kau dekat tetapi terasa jauh.
Kau ada tetapi rasanya kau tak pernah ada.
Bahkan setelah semua yang kau alami. Setelah kau melupakan sosok yang pernah kau cintai dulu, bukan aku yang kau jadikan tambatan hatimu selanjutnya.
Sekarang aku mulai sadar. Semua jalanku tak tertuju padamu.
Aku hanya ditakdirkan sebagai temanmu. Bukan belahan jiwamu.
Jadi, untuk saat ini. Ketahuilah aku ikhlas jika kau bersamanya.
Aku ikhlas jila aku hanya bisa menjadi langit yang menopangmu, sang awan.
Kamu awan. Dan aku hanyalah langit. Yang hanya bisa menjadi penopangmu tanpa berharap lebih.
Hei, than. Aku selalu sukan memanggilmu dengan nama tengahmu.
Jadi, than. Biarkan aku mengungkapkan rasa yang menggebu-gebu di hatiku, sebelum aku melangkah pergi dari hidupmu.
Aku cinta. Sangat cinta. Terlalu cinta denganmu.
Dariku
Langit penopangmu
KAMU SEDANG MEMBACA
Letters
Teen FictionUntuk kamu yang disana, dari kami yang tak bisa nyatakan rasa.