Aku sadar. Selama ini, aku merasa cukup bodoh karena terus-terusan memperhatikanmu yang sedang asyik mengobrol dengan teman sekelompokmu.
Dalam diam, hatiku bersorak kegirangan ketika melihatmu tertawa ataupun tersenyum dengan tulus dan bebas. Rasanya, aku menemukan kebahagiaan tersendiri di dalam jiwaku.
Pernah sekali, kamu mendatangiku yang sedang sibuk menulis. Aku mendongak. Mataku dan matamu bertemu. Seperti, mengirim sinyal satu sama lain. Aku tertawa sinis dalam hati karena terlalu jauh berkhayal.
"Pulang sekolah nanti, ada tugas piket. Jangan lupa."
Aku ingat sekali, kalimatmu terlalu datar dan langsung melengos pergi. Kamu memang cuek. Terlalu cuek. Tapi, tidak bagi dirinya.
Dia yang selalu berada disampingmu. Dia yang selalu membuatmu tersenyum. Aku tahu banget, kamu hanya bisa tersenyum atau tertawa dengan orang-orang terdekatmu.
Aku menatap punggungmu yang semakin lama semakin jauh, lalu lenyap. Aku hanya bisa tersenyum, yah, setidaknya, aku bisa mendengar suaramu.
Namun, aku sadar diri. Selama ini, aku sebagai seonggok kotoran yang siap untuk dibuang. Naasnya, tak ada yang mau mengangkatku untuk dibuang.
Apalah dayaku, kalau aku memang tidak selevel denganmu. Andaikata, kamu kasta bhramana, sedangkan aku, kasta sudra, yang memang hanya rakyat jelata.
Untungnya, aku sadar diri. Aku memang bodoh. Tidak ada gunanya kalau aku terus-terusan menunggu dan mengagumimu.
Ini kehidupan nyata, di mana ekspektasi kita jauh berbeda dengan realita yang sebenarnya terjadi.
Aku teringat apa petuah dari orang tuaku.
Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Iya, itu benar.
Itu berarti, aku hanya ingin menginginkanmu, bukan membutuhkanmu. Atau mungkin sebaliknya. Aku dan kamu memang sama-sama tidak membutuhkan.
Aku memang menginginkanmu, dan itu menjadi alasan kalau aku hanya membuang-buang waktuku yang terlalu berharga untukmu.
Sekian,
Dari aku yang tidak membutuhkanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letters
Teen FictionUntuk kamu yang disana, dari kami yang tak bisa nyatakan rasa.