Gika segera berlari ke arah pintu utama, Aric datang lebih cepat dari perkiraannya.
"Ini gawat, ini bener-bener gawat Aric." Gika tidak tau ingin menggambarkan kepanikan itu dengan bagaimana, tapi sumpah. Dia panik sekali sekarang, Gauri adalah tipe ibu yang menggebu ketika dia marah. Tapi yang tadi lain, dia meninggalkan Gika begitu saja. Kecewanya berat sekali pastinya.
"Kita baik-baik aja, saya janji." Aric mendekat, memeluk dan mengecup pucuk kepala Gika.
"Kamu kok bisa sih sesantai ini?" Aric memang nampak terlihat santai, hanya saja Gika tidak tau kalau jam tidurnya yang memang tidak jelas itu makin tidak teratur, pikirannya hanya seputar Gika dan ia takut kali ini ia gagal lagi. Meski sebenarnya ia optimis berhasil, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi kedepannya. Tidak ada hal yang benar-benar mulus sesuai rencana.
Aric tau dia curang, memanfaatkan terdesaknya Gika untuk dapat ia miliki, ia menggunakan cara yang kotor. Tapi bukankah dia sudah bilang bahwa ini semua bermula dari Gika sendiri? Aric hanya melanjutkan apa yang sudah di susun Gika, meski perempuan itu sendiri tidak sadar.
"Kita baik-baik aja sayang, kamu diam aja dan tunggu hasilnya." Gika ingin setenang Aric, tapi apa katanya barusan? Sayang? Ayolah, kenapa saat-saat begini kamu masih punya waktu untuk tersipu Gika?
Aric kemudian menarik Gika untuk ikut dengannya, masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa. Gika pamit untuk memanggil Gauri, tapi ia kembali tidak lama dengan semakin takut.
"Kenapa?" Aric dekatkan duduknya dengan Gika, tangannya terulur menyentuh pipinya.
"Mama bilang, tunggu papa pulang, dia udah di jalan." Sepanjang hidupnya, Gika tidak pernah melihat ayahnya marah besar. Kesalahan apapun darinya selalu di tegur dengan cara baik dan sangat amat menjaga perasaan Gika. Ayahnya bahkan jarang meninggikan suaranya pada Gika sejak ia kecil
Aric tidak menanggapi, meski Gika menurunkan tangannya dari pipinya, Aric tidak menyerah dengan beralih menggengam tangannya.
"Keluarga kamu gimana?" Aric tersenyum, senyum yang tidak menular pada Gika dan tidak membuatnya merasa lebih baik. Ketakutan itu sangat mendominasi.
"Mereka enggak pernah menentang keputusan saya, kecuali mama yang pernah berhasil menikahkan kita. Dimana semua itu berakhir karena kebodohan saya." Pada dasarnya Aric belum mengatakan apapun pada keluarganya, karena bilang atau tidak, ia optimis berhasil.
"Tapi kali ini saya janji, saya akan perbaiki semuanya, saya akan miliki kamu lagi. Dan saya yakin keluarga saya enggak akan bisa menolak itu." Aric anak bungsu, mungkin itu lah sebabnya belum ada keinginannya yang tidak di berikan. Atau entahlah, Gika sedang malas berfikir hal lain sekarang.
Ayah Gika datang tidak lama kemudian, ia langsung membuka pintu, Aric spontan berdiri di ikuti Gika.
"Pa, saya___
Gika hampir berteriak, mulutnya separuh terbuka ketika ucapan Aric terputus akibat ayahnya menampar pipi Aric dengan keras.
Kepala Aric terpelanting ke samping, tamparan itu keras. Aric merasa pipinya perih.
"Saya___
Aric kembali di tampar, Gika tidak bisa melihatnya, mata Gika berkaca-kaca. Karena sejujurnya ia ikut sakit melihat Aric di tampar sekeras itu. Gauri datang ketika Gika sudah menangis tanpa suara.
"Duduk kalian berdua" ucapan itu dituruti Gika, Aric, juga Gauri yang mengambil duduk di sebelah suaminya.
"Saya enggak peduli siapa yang memulai, tapi kalian berdua bener-bener bodoh." Ia menatap Gika yang menunduk, juga menatap Aric yang masih dengan berani mengenggam tangan Gika. Dan ia makin yakin, mereka berdua masih saling mencintai karena genggaman itu di balas sama eratnya oleh Gika.
"Kamu Gika, kemana sih otak kamu? Kamu lupa apa yang Aric lakuin ke kamu?" Gauri ikut menimpali, ia kecewa jujur saja. Tapi ini semua karena Gika memang mencintai laki-laki itu. Dia percaya bahwa cinta memang buta, buktinya Gika tidak peduli pada itu karena masih mencintai Aric dan agaknya tidak akan pernah selesai.
"Kamu Aric, kamu selain gak punya hati juga enggak punya malu ya? Seharusnya waktu Gika datang, kamunya ngusir! Bukan malah ikut ngeladenin.!" Gauri membentak keras. Ia kecewa, sudah menangis pula di kamarnya. Tapi entah kenapa dia tidak bisa lebih marah, kenapa? Karena ia tau dua orang yang sedang menunduk di depannya ini memang saling mencintai dan memang ingin kembali.
Gauri merasa pusing, tapi dia sudah bilang, dia tidak ingin dan sudah bukan saatnya ikut campur urusan Gika dan mengatur hidupnya.
"Maaf, ini memang salah. Saya minta maaf, tapi saya enggak menyesal dan enggak akan kemana-mana. Kecuali sama Gika." Gika masih menangis, tenggorokannya sakit seolah tak mampu bicara. Hanya remasan tangannya pada Aric yang seperti memberitahu pria itu untuk tidak semakin memperkeruh suasana.
Hening. Gika merasa tangannya berkeringat. Degup jantungnya menggila. Keterkejutannya belum selesai melihat ayahnya main tangan. Itu adalah hal baru yang pertama kali Gika lihat.
Ia menoleh pada Aric, pipinya kemerahan, sudut bibirnya mengeluarkan darah, tapi pria itu tetap tersenyum menatap Gika.
"Pa, ma..ini enggak sepenuhnya salah Aric. Justru aku yang paling salah karena aku yang mulai, Aric___
"Apa sih yang ada di pikiran kamu sampe waktu itu tiba-tiba kamu kayak gak punya harga diri?" Ucapan menohok dari Gauri itu semakin membuat Gika takut. Ia serius, kepalanya agak pusing.
"Gika udah ngaku tadi pa, dia bilang masih cinta sama Aric." Mendengar ucapan tajam Gauri itu, Aric mengeratkan genggamannya pada Gika.
"Saya masih kecewa sama kamu Aric, kamu sendiri yang ceraiin Gika. Terus sekarang ini apa! Kamu mau main-main sama anak saya?!" Aric tidak gentar, ia tenang sekali sampai Gika takjub. Ia dengan berani membalas tatapan tajam ayah Gika di depannya.
"Saya tau pa, saya bodoh. Tapi bahkan di pikiran paling liar saya sekalipun, saya enggak pernah berfikir untuk mempermainkan Gika, atau siapapun. Saya bersalah dan saya akui itu, tapi untuk sekarang saya berani berjanji dan akan saya tepati, kalau itu enggak akan terulang. Gika gak akan tersakiti lagi." Ucapan panjang Aric itu membuat hening kembali menyapa. Gauri menghela nafas, menatap suaminya yang masih nampak kesal.
"Besok bawa kedua orang tua kamu kesini." Setelah mengucapkan itu, orang tua Gika memutuskan meninggalkan Gika dan Aric.
Keadaan itu membuat Gika agak sedikit lega, ia menunduk menangis dengan suara keras yang tadinya berusaha ia tahan.
"Gika..sayang?" Aric menjadi panik, tangisan Gika tidak pernah membuatnya tenang memang. Dari dulu hingga sampai hari ini, tangis Gika adalah kelemahannya.
"Aku takut" ucap Gika, terbata-bata karena sembari terisak.
"Ada saya, kamu jangan khawatir." Aric mendekat, memeluknya juga mengecup kepala Gika berulang kali.
"Gika, lihat saya dulu." Gika kembali menegakkan tubuhnya, membiarkan Aric menghapus banyak air mata di wajahnya.
"Gak papa. Dan saya minta maaf karena kamu harus mengalami ini." Gika mengangkat tangannya, mengusap pelan pipi Aric yang semakin menunjukkan warna kemerahan.
"Gak papa" Aric mengambil tangan Gika, mengecupnya berharap Gika mengerti tamparan itu bukan apa-apa.
Sakit, memang iya. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang pernah ia lakukan pada Gika dulu.
"Kamu mau kan, menikah sama saya? Kita ulangi semuanya dari awal. Kasih saya kesempatan memperbaiki kesalahan saya, bisa kan Gika?" Dan sudah cukup, tatapan Aric seperti membius Gika, tutur katanya yang lembut membuat Gika seolah tidak bisa berfikir. Persis seperti malam itu.
Gika tidak lagi punya kalimat pengelakan dan hatinya memang sudah memberontak meminta mengaku bahwa dia memang menginginkan Aric, sama banyaknya dari dulu sampai sekarang.
"Aku mau" jawaban itu singkat, tapi adalah kalimat paling indah bagi seorang Altezza Alaric. Ia mendekat dan kembali memeluk Gika
Siapa tau ada yang masih nunggu...mari menuju ending.

KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE ✓
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower